Sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi jalan bagi Indonesia untuk menarik investasi asing dan bangkit dari keterpurukan ekonomi pascapandemi covid-19.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan ada kurang lebih sekitar USD13 triliun potensi di sektor EBT di global. Menurutnya, ini bisa menjadi potensi bagi Indonesia.
Apalagi saat ini Indonesia memerlukan investasi asing langsung, yang menurut Sugeng tersebar di mana-mana. Selain itu banyak lembaga pembiayaan dan perbankan yang juga mengalihkan pendanaan dari energi fosil ke ramah lingkungan.
“Indonesia mau bangkit pascacovid-19, satu-satunya jalan adalah dari investasi EBT,” kata Sugeng dalam acara Media Group News Summit Series bertajuk Indonesia Green Summit 2021, Senin, 26 Juli 2021.
Ia menyebutkan, berdasarkan survei The International Renewable Energy Agency (Irena), investasi hijau dan EBT dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) atau bahkan pertumbuhan hingga 3-8 kali dari pada investasi konvensional lainnya.
“Artinya ini sebuah jalan di mana kita bangkit dari keterpurukan covid-19,” ujar Sugeng.
Sementara itu, Indonesia juga saat ini tengah mengembangkan dan meningkatan bauran EBT dalam energi nasional. Indonesia menargetkan bauran EBT 23 persen di 2050.
Berdasarkan perhitungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di 2016, untuk mencapai target tersebut dibutuhkan 45 ribu megawatt (MW). Hingga akhir 2020, kapasitas terpasang listrik EBT di Tanah Air yakni sekitar 10.400 MW.
“Kita memerlukan kurang lebih USD6 miliar per tahun,” tutur dia.
Lebih lanjut, politikus Partai NasDem ini menambahkan untuk bisa menarik investasi dalam menggembangkan EBT, dibutuhkan insentif dan disinentif agar lebih bergairah. Pasalnya hingga kini pengembangan EBT dinilai terbilang mahal. Insentif perlu diberikan untuk mengurangi beban pengembang EBT. Sementara disinsentif perlu diberikan bagi penyumbang karbon dan emisi salah satunya pengguna energi fosil.
“EBT hanya bisa berkembang kalau ada insentif dan disinsentif. Tanpa itu tidak akan mencapai titik ekuilibrium, sampai kapanpun tidak akan bisa karena EBT masih dianggap mahal,” ucap Sugeng.
Ia mencontohkan saat ini insentif justru diberikan pada energi primer yang notabene menyumbang karbon tertinggi, contohnya solar karena memiliki RON yang rendah. Insentif diberikan dalam bentuk subsidi. Demikian juga batu bara yang juga menyumbang emisi tinggi.
“Ke depan subsidi ini harus diberikan ke yang bersih dan terbarukan. Paradigma tersebut harus di balik,” jelas Sugeng.