Resiko yang Dihadapi Perbankan dalam Pengembangan Transisi Energi

0
991

Gelombang transisi energi yang bergerak demikian cepat di segala penjuru dunia harus disikapi secara bijak dan tepat oleh seluruh pelaku industri. Tak terkecuali para pelaku industri perbankan yang masih mengandalkan kinerja kreditnya dengan membiayai pengembangan dan pemanfaatan energi kotor.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Center for Economic and Law Studies (Celios), sebesar 32 persen penghambat transisi energi yang tengah digembor-gemborkan pemerintah adalah batu bara. Dengan demikian, bila perbankan masih tetap mendanai proyek batubara dalam jumlah yang sangat besar, baik dalam bentuk pinjaman, maupun secara langsung lewat obligasi atau surat utang, maka sedikitnya tiga risiko besar diyakini bakal harus dihadapi.

“Pertama adalah risiko yang berkaitan dengan stranded asset, maka adanya penurunan nilai dari aset yang berkaitan dengan sektor batubara,” ujar Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Kamis (6/7/2023).

Sedangkan risiko kedua yaitu berkaitan dengan reputasi. Hal tersebut lantaran banyaknya mitra atau perusahaan yang berkolaborasi dengan bank itu menduduki standar environment social governance (ESG) yang cukup tinggi. “Sehingga kalau ada bank yang masih membiayai sektor pertambangan atau ekstraktif maka bisa dianggap memiliki reputasi yang kurang baik di mata internasional,” tutur Bhima.

Kemudian, lanjut Bhima, risiko ketiga yaitu akan berdampak pada Non Performing Loan (NPL) atau aset yang bisa menimbulkan kredit macet. Menurut Bhima, hal itu bisa terjadi sejalan dengan proses penutupan banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang menyebabkan perbankan menghadapi risiko kredit yang relatif cukup tinggi.

“Nah itu pentingnya kenapa perbankan harus melihat risiko-risiko tadi dan memasukannya ke dalam analisis trading atau pembiayaan sebelum memutuskan lakukan pembiayaan terutama kepada sektor yang berkaitan dengan ekosistem batubara,” ungkap Bhima.

Sebagai solusi, Bhima pun menyebut bahwa ada sektor-sektor lain yang lebih sehat untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Salah satunya sektor di energi baru terbarukan seperti mikrohidro, panel surya yang masih membutuhkan investasi Rp423 triliun hingga 2025.

“Nah, bank bisa terlibat kesana. Kemudian sektor-sektor yang berkaitan dengan ekonomi kreatif, sektor pariwisata yang pembiayaan masih sangat kecil. Jadi banyak portofolio pilihan yang menyajikan keuntungan jauh lebih menarik dibandingkan terjebak pada pembiayaan di sektor ekstraktif,” pungkas Bhima.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here