Pemerintah dan Komisi VII DPR RI mengebut pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba. Panitia Kerja (Panja) yang terdiri dari Komisi VII dan pemerintah sudah merampungkan pembahasan 938 Daftar Inventaris Masalah (DIM) pekan lalu.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto. Kendati begitu, Sugeng mengatakan bahwa secara substansi, masih ada sejumlah isu yang harus dibahas lebih lanjut.
Salah satunya substansi perihal izin luas wilayah pertambangan, khususnya yang terkait dengan perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
“938 DIM sudah dibahas tuntas. Hanya menyisakan beberapa susbtansi yang perlu penajaman. Misalnya tentang luasan wilayah. Itu saja, lainnya sudah tuntas,” kata Sugeng saat ditemui selepas menghadiri diskusi, Senin (2/3).
Sugeng mengakui, pengaturan luas wilayah memang masih menjadi perdebatan. Sayangnya, ia masih enggan buka suara terkait materi dan substansi pembahasan.
“Iya, yang belum jadi keputusan tentang luas wilayah, karena memang belum boleh bicara materi, tidak etis. Kita bicara prosesnya saja,” kata Sugeng.
Sugeng sebelumnya mengklaim, revisi UU minerba ini tidak hanya mengkhususkan soal perpanjangan kontrak PKP2B. Revisi UU minerba ini, katanya, juga akan membenahi tata kelola perizinan dan pengelolaan tambang agar tidak terjadi tumpang-tindih.
“Kita mengatur secara rigid hubungan, misalnya antara (Kementerian) Perindustrian dan ESDM supaya tidak tumpang tindih, dan seterusnya,” ujar Sugeng akhir pekan lalu.
Kendati begitu, Sugeng tak menampik bahwa revisi UU minerba yang dibahas dengan cepat ini juga untuk memastikan kepastian hukum dan berusaha bagi PKP2B generasi pertama yang akan habis masa kontrak.
“Kita tahu lah, bahwa PKP2B generasi pertama akan segera habis dimulai bulan 11 (November). Sumbangsih (batubara) terhadap pendapatan negara memang luar biasa, maka perlu ada kepastian hukum, kepastian berusaha dengan aspek keadilan dan sustainability,” terangnya.
Sugeng menyebut bahwa UU Minerba saat ini baru memberikan kepastian perpanjangan kontrak selama 2 x 10 tahun sejak masa kontrak berakhir. Namun, terkait dengan luasan wilayah, masih belum ditentukan secara tegas di dalam regulasi.
“Dalam ketentuannya (UU Minerba) ada perpanjangan 2 x 10 tahun, tetapi luasannya memang belum diatur. Itu yang akan menjadi bahasan,” ungkapnya.
Dalam catatan Kontan.co.id, perdebatan perihal pengaturan luas wilayah PKP2B yang akan berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Perpanjangan (IUPK OP) memang sempat disinggung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono.
Bambang menjelaskan, dalam UU Minerba pasal 83 ayat d memang diatur bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahapan kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan paling banyak 15.000 hektare (ha).
Namun, Bambang menekankan bahwa luas wilayah IUPK OP perpanjangan PKP2B berbeda dengan IUPK yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Menurut Bambang, luas wilayah IUPK OP perpanjangan bisa saja tidak terbatas 15.000 ha, lantaran PKP2B memiliki hak mengajukan permohonan menjadi IUPK OP perpanjangan dengan Rencana Kegiatan pada Seluruh Wilayah (RKSW) sesuai Pasal 171 UU Minerba, Pasal 30 Amandemen Kontak, dan pasal 112 PP Nomor 77/2014.
Sehingga, Bambang menyatakan perlunya penjelasan dan penegasan yang mengatur terkait poin luas wilayah di dalam peraturan perundang-undangan.
“IUPK OP perpanjangan PKP2B berbeda dengan IUPK dari WPN, termasuk besaran luas wilayah. Sehingga perlu segera dibuat regulasi yang mengatur luas wilayah IUPK OP perpanjangan PKP2B karena belum diatur dalam peraturan perundang-undangan,” terang Bambang.
Adapun, PT Arutmin Indonesia memiliki wilayah tambang di Kalimantan Selatan dengan luas 57.107 ha. Kontrak Arutmin akan berakhir pada 1 November 2020. Selain Arutmin, ada enam PKP2B generasi pertama lain yang akan habis kontrak.
Yakni PT Kendilo Coal Indonesia (1.869 ha/13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (84.938 ha/31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (39.972 ha/ 1 April 2022), PT Adaro Indonesia (31.380 ha/1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (47.500 ha/13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (108.009/26 April 2025).
Terkait pengubahan aturan pertambangan, baik yang tertuang dalam revisi UU minerba maupun dalam UU Cipta Kerja alias omnibus law, sejumlah pengusaha PKP2B masih enggan banyak berkomentar.
Head of Corporate Communication Division PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengatakan, pihaknya masih enggan mengomentari pembahasan revisi UU minerba.
Menurut Nadira, aturan yang ada saat ini telah menjamin adanya perpanjangan bagi pemegang PKP2B sepanjang bisa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
“Kami tidak dapat berasumsi tentang sesuatu yang masih bersifat wacana. Yang kami pahami, peraturan yang telah ada saat ini telah menjamin adanya perpanjangan bagi pemegang PKP2B sepanjang dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan, yakni pemenuhan terhadap aspek administratif, teknis, lingkungan, dan finansial,” terang Nadira.
Manajemen PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang merupakan induk dari PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal juga masih belum banyak memberikan tanggapan.
Yang jelas, menurut Direktur BUMI Dileep Srivastava, perpanjangan dan durasi kontrak, luas wilayah serta insentif, merupakan komponen penting dalam kepastian invetasi.
“Jangka waktu konsesi, luasan dan insentif adalah komponen penting yang dapat memacu investasi,” ungkap Dileep.
sumber asli: kontan.co.id