Site icon Seputar Energi

Aturan Harga Jual Listrik Energi Baru Terbarukan Bisa Hambat Investasi

Pemerintah sedang menyiapkan aturan harga jual listrik dari pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT). Beleid ini sedianya disusun untuk insentif dan penarik investasi kelistrikan berbasis energi pro-lingkungan.

Tapi, calon beleid peraturan presiden (perpres) itu justru dinilai sebagai disinsentif dan akan mengganjal investasi kelistrikan. Sorotan utamanya pada ketentuan harga pembelian listrik oleh PLN.

Berdasarkan draf perpres terbaru yang diterima KONTAN, ada empat skema penentuan harga listrik EBT untuk PLN (lihat infografik).

Dalam rancangan perpres itu, ketentuan harga listrik berdasarkan kapasitas pembangkit dan lokasi. Kian besar kapasitas, PLN akan membeli murah tarif listrik itu.

Draf Perpres Harga Listrik EBT yang Dibeli PLN Pasal 5
Harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit yang memanfaatkan sumber energi terbarukan oleh PT PLN berdasarkan: a. harga feed-in tariff; b. harga penawaran terendah; c. harga patokan tertinggi; atau d. harga kesepakatan. Pasal 6
1.Pembelian dengan harga feed-in tariff: a. PLTA untuk kapasitas pembangkit hingga 20 MW; b. PLTA yang memanfaatkan tenaga air dari waduk/bendungan atau saluran irigasi yang pembangunannya bersifat multiguna barang milik negara oleh kementerian di bidang sumber daya air untuk kapasitas sampai dengan 20 MW; c. PLTS/PLTB untuk kapasitas pembangkit hingga 20 MW yang lahannya disediakan pemerintah maupun lahan sendiri; d. Penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTS atau PLTB untuk kapasitas hingga 20 MW; e. PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit hingga 10 MW; f. Penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit hingga 10 MW; g. Kelebihan tenaga listrik (excess power) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas terkontrak hingga 10 MW; 2.Pembelian tenaga listrik dengan harga penawaran: a. PLTS atau PLTB untuk kapasitas pembangkit lebih dari 20 MW baik yang lahannya disediakan pemerintah maupun yang menggunakan lahan sendiri; b. PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit lebih dari 10 MW. 3.Pembelian tenaga listrik dengan harga patokan tertinggi dilakukan untuk pembelian tenaga listrik dari PLTP atau pembelian tenaga uap untuk PLTP. 4.Pembelian tenaga listrik dengan harga kesepakatan: a. PLTA untuk kapasitas pembangkit lebih dari 20 MW berdasarkan batas harga tertinggi sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan presiden ini; b. PLTA yang memanfaatkan tenaga air dari waduk/bendungan atau saluran irigasi yang urusan pemerintahan di bidang sumber daya air untuk kapasitas sampai dengan 20 MW; c. PLTS atau PLTB untuk kapasitas pembangkit hingga 20 MW baik yang lahannya disediakan pemerintah maupun yang menggunakan lahan sendiri; d. Penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTS atau PLTB untuk kapasitas sampai pembangunannya bersifat multiguna barang milik negara oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air untuk kapasitas lebih dari 20 MW berdasarkan batas harga tertinggi sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini; e. PLTA Peaker atau PLTA penambahan kapasitas (ekspansi) untuk semua kapasitas pembangkit; f. Penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit lebih dari 10 MW berdasarkan batas harga patokan tertinggi sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan presiden ini. Sumber: Draf Perpres EBT

Contohnya, harga listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas di atas 100 MW ditetapkan US$ 0,058 x F. Sementara harga listrik PLTA berkapasitas 1 MW-3 MW dibanderol US$ 0,1025 x F. F ialah faktor lokasi.

Dilansir dari Kontan pemilik pembangkit EBT berkapasitas di atas 100 MW menyatakan, beleid harga listrik itu tak menarik bagi investasi dan hanya mengakomodasi pengembang EBT di bawah 10 MW. “Harga cuma US$ 0,058 bagi PLTA kapasitas 100 MW tidak ekonomis,” ungkap dia, kemarin.

Pebisnis listrik panas bumi juga gelisah. Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Priyandaru Effendi menyatakan, harga listrik panas bumi idealnya mengacu skema feed in tariff (FIT) sesuai keekonomian proyek di semua kapasitas pembangkit.

“Di draf ini, harga patokan tertinggi berdasarkan kapasitas. Itu harus negosiasi lagi dengan PLN dan akan memakan waktu yang lama,” kata dia.

Sudah begitu, harga listrik panas bumi di beleid itu juga dinilai tak menguntungkan,sehingga menjadi disinsentif bagi pengembang EBT skala besar. “Sayang jika presiden tanda tangan tapi tidak diminati investor,” ucap dia.