Pengembangan energi baru terbarukan di Tanah Air masih harus menghadapi sejumlah tantangan.
Dari deretan tantangan tersebut, paling krusial adalah permasalahan terbatasnya bahan baku atau komponen utama yang membuat upaya pengembangan menjadi terhambat.
Co-founder sekaligus CEO Sylendra Power Reynaldi Pradipta mengatakan pengembangan perangkat energi baru terbarukan yang pihaknya lakukan seringkali terhambat akibat tidak tersedianya sel baterai di dalam negeri.
“Keterbatasan sumber daya kita terkait bahan baku, cadangan nikel kita terbesar di dunia tetapi belum banyak yang bisa mengembangkannya menjadi sel baterai. Masih sangat terbatas, jadi untuk bahan baku seperti lithium-ion itu masih harus didatangkan dari luar negeri, susahnya disitu,” katanya dikutip dari Bisnis belum lama ini.
Sebagai catatan, Sylendra Power merupakan perusahaan rintisan atau startup yang berbasis di Yogyakarta. Perusahaan tersebut fokus mengembangkan sejumlah produk energi baru terbarukan berbasis tenaga surya.
Selain itu, persoalan lain pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia adalah keterbatasan informasi pendukung dari pihak-pihak berwenang untuk dimanfaatkan sebagai acuan agar produk yang dihasilkan tepat guna. Menurut Reynaldi, apabila permasalahan tersebut bisa teratasi, niscaya Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang terdepan dalam hal pengembangan energi baru terbarukan.
“SDM kita ini nggak kalah, nggak jauh lah [kemampuannya] dengan negara-negara maju. Mereka bahan baku produksi sendiri di dalam negeri jadi biaya untuk pengembangannya bisa ditekan. Beda dengan kita yang harus impor dahulu sehingga biayanya lebih besar,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Reynaldi berharap kedepannya pemerintah bisa mendorong pelaku usaha berskala besar untuk mengolah nikel menjadi sel baterai di dalam negeri untuk mendorong penggunaan energi baru terbarukan, tak terkecuali pengembangan kendaraan listrik.
Saat ini, perusahaan rintisan yang didirikan oleh Reynaldi bersama rekannya pada 2019 itu tengah mengembangkan produk berupa lampu penerangan jalan umum (PJU) yang bisa difungsikan sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Adapun sebelumnya, produk yang berhasil dikembangkan adalah PLTS untuk memasok listrik di posko dekontaminasi Covid-19 di Sleman, Yogyakarta.
“Kami sedang kembangkan PJU yang bisa dijadikan PLTS untuk keperluan listrik lain di sekitarnya. Bukan seperti PJU tenaga surya konvensional yang hanya digunakan untuk menghidupkan lampu. Sebelumnya kami sudah mengembangkan energy harvester untuk posko dekontaminasi Covid-19 Sleman dan vila di Semarang,” paparnya.
Terkait dengan dukungan dari masyarakat, Reynaldi menilai sudah cukup baik. Namun, masih perlu edukasi yang lebih maksimal untuk meyakinkan masyarakat bahwa banyak manfaat dari penggunaan energi baru terbarukan. Pasalnya, masih banyak yang menganggap bahwa energi baru terbarukan terlampau mahal dan tidak efisien dari segi biaya.
“Edukasi masih harus digencarkan, kami edukasi lewat seminar, roadshow, lewat media sosial bahwa banyak keuntungan dari penggunaan energi baru terbarukan. Di awal memang mahal tapi itu kan untuk jangka panjang terhitungnya lebih murah,” tutupnya.