Kementerian ESDM saat ini tengah gencar mengembangkan energi surya atau matahari melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) guna mendorong pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen 2025 mendatang.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris menyatakan, selain ramah lingkungan, ternyata energi surya memiliki biaya operasional yang lebih murah bahkan dari sumber energi fosil yang diklaim termurah, batu bara.
“Sekitar 10 tahun terjadi perubahan drastis dari yang dulu kita katakan PLTS mahal, sekarang mungkin paling murah di dunia, sudah mencapai USD 1,35 sen/kWh. Dibandingkan energi fosil, batubara yang nggak dikenai biaya karbon saja harganya masih lebih mahal dari PLTS,” jelas Harris dalam tayangan virtual, Rabu (16/9/2020).
Harris bilang, saat ini tren pemanfaatan energi surya dan angin sedang dikembangkan di berbagai negara.
Dengan dioptimalkannya potensi tenaga surya, tidak hanya membantu mendorong pemerintah mencapai target bauran energi, tapi juga menurunkan kadar emisi gas rumah kaca secara nasional sebesae 29 persen di tahun 2030.
“Saat ini posisi kita untuk EBT baru 9,15 persen dari target 23 persen tahun 2025, jadi masih ada gap yang cukup besar yang harus kita kejar dan salah satu yang diharapkan yaitu dari energi surya,” kata Harris.
Mengutip Liputan 6, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sempat membeberkan potensi EBT Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW).
Potensi ini terdiri dari energi samudera, panas bumi, bioenergi, bayu (udara), hidro (air) dan surya (matahari). Energi surya sendiri punya potensi paling besar yakni 207,8 GW, namun baru dimanfaatkan 150,2 MWp (Mega Watt peak) atau 0,07 persennya saja.
Labuan Bajo Bakal Punya PLTS Hybrid 70MW
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menfasilitasi penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Scatec Solar AS dengan PT Arya Watala Capital dan PT Flores Prosperindo untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid 70MW di Labuan Bajo.
President Director PT Flores Prosperindo Alfonso Pardede menjelaskan, perusahaan difasilitasi oleh Watala bertemu dengan Scatec, yang merupakan perusahaan pengembang energi baru terbarukan dari Norwegia.
Flores Prosperindo yang merupakan pengembang di bawah PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Coporation (ITDC), berharap bisa mengubah Labuan Bajo menjadi sebuah konsep kota masa depan yang smart, clean, dan renewable energy.
“Kita pemilik lahan bekerja sama dengan ITDC difasilitasi oleh Watala dan bekerja sama dengn Scatec,” kata Alfonso Pardede, usai menyaksikan penandatanganan MoU itu di kementerian ESDM, Jakarta, Senin ( 9/3/2020).
Menurutnya, kerjasama ini dilatarbelakangi karena pemerintah Indonesia akan menjadi tuan rumah perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G20 pada 2023, dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) dipilih sebagai lokasi diadakan KTT G20 tersebut.
“Saat ini 2-3 bulan yang lalu pemerintah meminta menjadi host event G20 tahun2023 dan rencananya di Labuan Bajo, nah saat ini mungkin salah satu pemerintah confidence nya ya ITDC yang memang sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan forum event seperti di Bali tahun 2013, salah satu sinergi bagaimana penyelenggaraan dengan ITDC dan yang lain untuk mensukseskan target presiden menjadi host G20 tahun 2023,” ujarnya.
karena sebagai moderator atau tuan rumah G20 maka perlu kesiapan dan kerjasama antar stakeholders terkait, seperti perusahaan, Pemerintah daerah, dan Pemerintah pusat, hal itu bertujuan untuk meyakinkan panitia dari G20 kalau Indonesia siap sebagai tuan rumah.
Selain itu, dalam kesempatan yang sama Founder & CEO PT Enertec Mitra Solusi Mada Ayu Habsari, yang juga perwakilan dari PT Arya Watala Capital, mengatakan bahwa pihaknya berperan sebagai developer yang menghubungkan atau menjembatani kerjasama antar Flores Prosperindo dengan Scatec.
“Jadi di proyek ini kita jadi EBT developernya, kalau kita projek selalu ada developernya kan, kebetulan dari PT Flores Prosperindo sebagai pemilik lokasi, mereka minta kita untuk melistriki, kebetulan inikan projek untuk kawasan ekonomi pariwisata, untuk 10 destinasi new Bali,” ujarnya.
Rencananya untuk tahap awal, ada dia lokasi yang akan dibangun PLTS Hybrid 70MW, yakni Tana Naga dan Golo Mori. Asalnya yang akan dibangun pertama adalah Tana Naga, namun karena Golo Mori dipilih sebagai kawasan untuk G20, maka Golo Mori lah yang diutamakan.
“Golo Moriori duluan karena untuk lokasi G20 untuk 70MW, totalnya ada 210MW. Sisanya bisa kemungkinan untuk kawasan lain tapi dilihat dengan kebutuhan lainnya. Karena event itu ada dua, satu G20 dan ASEAN SUMMIT, itu lokasinya juga sama,” jelasnya.
Lanjut, Mada pun, menambahkan bahwa pembangunan PLTS di Golo Mori itu ditargetkan selesai 1,5 tahun, yang rencananya akan dimulai pembangunan akhir tahun 2020 atau awal tahun 2021.