Percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dinilai memerlukan payung hukum atau aturan yang kuat. Untuk itu, Komisi VII DPR RI berkomitmen meloloskan Rancangan Undang-Undang (UU) Energi Baru dan Terbarukan pada akhir tahun ini.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam aturannya, penggunaan energi terbarukan relatif dibatasi hanya sekitar 8-9% dan diperkirakan menjadi 25% pada 2025.
“Pada 2025 kami berharap dapat mencapai sekitar 23% dari total energi terbarukan, dan pada 2050 31%. Itu adalah target Indonesia,” kata Eddy dalam webinar bertajuk “Masa Depan Energi Terbarukan di Indonesia, Berbagi Pengalaman dengan Uni Eropa” di Jakarta baru-baru ini.
Menurut Eddy, belum maksimalnya aturan mengenai energi terbarukan mengakibatkan lambatnya investasi di sektor tersebut. “Tantangannya adalah energi terbarukan yang dihadapi tersebar di seluruh pelosok negeri. Sebagian besar berada di daerah terpencil yang minim akses infrastruktur,” katanya.
Menurut dia, Indonesia saat ini sedang membutuhkan listrik tambahan 14.087 MW untuk mencapai target 23% pada 2025. Kemudian, sektor kelistrikan telah meningkat signifikan antara 30% hingga 40% dari permintaan. Kondisi itu menjadi tugas yang menantang terutama di tengah pandemi Covid-19.
“RUU energi terbarukan yang dirancang oleh Komisi VII baru saja lolos sebagai RUU pertambangan beberapa bulan yang lalu dan ini adalah masalah utama. Berikutnya, di meja kami adalah RUU terbarukan seperti yang disebutkan. Target kami adalah menyelesaikan RUU sebelum 2021,” jelas Eddy.
Dia menambahkan, selain menyusun naskah akademik RUU Energi Baru dan Terbarukan, pihaknya juga mengumpulkan sebanyak mungkin masukan dari berbagai sektor di Indonesia di antaranya bidang akademik dan industri.
“Kami membuka diri seluas-luasnya untuk menerima informasi sebanyak-banyaknya, masukan sebanyak-banyaknya untuk membuat RUU ini menjadi lebih baik,” pungkasnya. (Rakhmat Baihaqi)