Turunnya royalti minerba yang diterima Pemprov Kalsel tahun 2021 berdampak besar terhadap pelaksanaan program pembangunan di Kalsel. Sedianya royalti atau dana bagi hasil begitu penting membantu keuangan daerah.
“Dampaknya sangat besar. Otomatis beberapa kegiatan, khususnya infrastruktur tentu akan disesuaikan dengan dana yang ada. Bagaimana mungkin dana sedikit mau banyak yang dikerjakan,” ujar pengamat ekonomi Universitas Lambung Mangkurat, Arief Budiman.
Dia menerangkan, dana bagi hasil yang dikelola dengan pendapatan lain dan diurumuskan melalui APBD tentu berhubungan erat dengan kegiatan pembangunan. “Tak bisa banyak lagi dikerjakan. Contohnya ingin membangun jembatan lima buah, karena anggaran terbatas, akhirnya satu saja yang bisa. Masyarakat di sekitar itu yang merasakan dampaknya,” contoh Arief.
Contoh lain, seperti pembangunan kantor pelayanan publik untuk memfasilitasi masyarakat, ketika dananya tak ada, kantor tersebut tak bisa dibangun. Sehingga, masyarakat pun dirugikan karena susah berurusan. “Dampaknya luar biasa. Pemprov harus memutar otak untuk menutupi turunnya dana bagi hasil ini,” ucapnya.
Sektor lain bisa digenjot untuk menutup, seperti pariwisata. Namun, kondisi yang saat ini masih pandemi, kunjungan wisata tentu tak bisa diharapkan banyak. “Harus ada inovasi. Dana bagi hasil ini sangat penting bagi daerah,” tekannya.
Terpisah, pengamat ekonomi Ahmad Yunani menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Kalsel pada tahun 2020 sebesar -1.81 persen, jauh sekali turun dari pertumbuhan ekonomi tahun 2019 yang kala itu sebesar 4,08 persen. Dalam struktur ekonomi Kalsel sebutnya, sektor batu bara berkontribusi sebesar 18,29 persen, jauh di atas sektor pertanian yang hanya 14,39 persen.
Sementara, penurunan produksi sektor pertambangan mencapai -4,47 persen, yang berarti penurunan produksi mengakibatkan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi juga turun. Dampak penurunan produksi terangnya, tentu berdampak terhadap pendapatan daerah dari sektor bagi hasil bukan pajak yang berasal dari hasil pertambangan batu bara.
Yunani menerangkan, mengutip data BPS Kalsel tahun 2020, kemampuan keuangan daerah Provinsi Kalsel pada tahun 2019 mengalami penurunan dibanding tahun 2018. Di mana penurunan kemampuan keuangan daerah disebabkan adanya penurunan penerimaan Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak/SDA Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam data BPS dijelaskannya, hasil penghitungan pendapatan umum daerah pada tahun 2018 adalah sebesar Rp5.608.208.848.000 dan belanja pegawainya sebesar Rp1.356.497.539.000. Dari hasil pengurangan pendapatan umum daerah dan belanja pegawai aparatur sipil negara tersebut adalah Rp4.251.711.309.000.
Sementara, pada tahun 2019 pendapatan umum daerah sebesar Rp5.538.032.917.000 dikurangi belanja pegawai aparatur sipil negara sebesar Rp1.378.601.187.000 yang hasilnya Rp4.159.431.730.000. “Penurunan kemampuan keuangan daerah ini disebabkan adanya penurunan penerimaan Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak/SDA Provinsi Kalsel,” sebutnya.
Perekonomian Kalsel yang bertumpu pada sektor pertambangan, tentu berhubungan erat dengan pendapatan perkapita Kalsel. Jika ekspor batu bara turun, otomatis pendapatan perkapita pun turun.
Yunani menerangkan, penurunan kegiatan pertambangan dan ekspornya sangat berdampak pula pada kegiatan ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan dan jasa transportasi yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Kalsel. “Kalau terjadi penurunan yang berlanjut, dampaknya tak hanya kesejahteraan masyarakat, juga daya belinya,” paparnya.