Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus limbah batu bara dari daftar kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Penghapusan tersebut tertuang pada peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Kategori limbah B3 adalah Fly Ash dan Buttom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku, serta keperluan sektor konstruksi.
Pada pasal 459 ayat 3 (C) dijelaskan Fly Ash baru bara dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tidak termasuk sebagai limbah B3, melainkan nonB3.
“Pemanfaatan Limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidi”zed Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan,” tulisan aturan tersebut dikutip merdeka.com, Jumat (12/3).
Sementara pada pasal 54 ayat 1 huruf a PP 101/2014 tentang pengelolaan limbah B3 dijelaskan bahwa debu batu bara dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah B3.
“Contoh Pemanfaatan Limbah B3 sebagai substitusi bahan baku antara lain Pemanfaatan Limbah B3 fly ash dari proses pembakaran batu bara pada kegiatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dimanfaatkan sebagai substitusi bahan baku alumina silika pada industri semen,” dalam aturan tersebut.
Aturan tersebut dicabut lewat PP 22 Tahun 2021, bersama empat PP lainnya. Diketahui PP tersebut diteken Jokowi pada 2 Februari 2021.
Untuk diketahui,Indonesia masuk dalam jajaran empat besar negara produsen batubara di dunia setelah China, Amerika Serikat (AS) dan India. Berdasarkan data Index Mundi pada 2018, China memproduksi 4,4 miliar short tons batubara, AS memproduksi 985 juta short tons, India memproduksi 675 juta short tons, dan Indonesia dengan 539 juta short tons.
Meski masuk negara jajaran atas produsen batubara dunia, namun urusan konsumsi, Indonesia justru terlempar dari daftar 10 besar konsumen batubara terbesar dunia dengan konsumsi hanya sebesar 115 juta ton di 2018.
Pemerintah pun berencana untuk terus mengurangi konsumsi batubara sebagai pembangkit energy di dalam negeri. Dalam road map Kebijakan Energi Nasional (KEN) dirumuskan bahwa pemanfaatan batubara dalam bauran energi nasional ditargetkan hanya 30 persen pada 2025, dan diturunkan menjadi menjadi 25 persen pada 2050.
Indonesia juga dianggap tertinggal dalam pemanfaatan limbah batubara. Di negara maju seperti Amerika Serikat, India, China, dan Jepang, mereka menyerap fly ash, bottom ash, dan gipsum sebagai bahan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, dan sebagainya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengungkapkan, bahwa di negara lain limbah batu bara tidak dianggap sebagai limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun.
“Cuma di sini (Indonesia) saja dianggapnya sebagai B3. Ini kan jadi masalah. Padahal di negara-negara lain seperti di Jepang. Limbah batubara itu dijadikan bahan konstruksi, bahan bendungan, jalan. Jumlahnya besar, bisa dimanfaatkan sebenarnya,” kata Hendra.