Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menegaskan diperlukan sumber daya manusia yang berkompeten dan manajemen yang profesional dalam industri migas, agar kegiatan dapat terus dikembangkan. Sebab, industri ini menjadi salah satu sektor yang penuh risiko dan berbiaya tinggi.
“Industri migas memerlukan manusia-manusia yang betul-betul kompeten, juga manajemen yang profesional dari berbagai hal. Itu yang akan menjamin keberhasilan (industri migas.red),” kata Tutuka, dikutip dari laman resmi Ditjen Migas Kementerian ESDM hari ini, Jumat (12/3).
Tutuka mencontohkan, Blok Rokan yang mengalami penurunan produksi karena beberapa faktor seperti cuaca dan penyebab lainnya, memerlukan SDM yang memiliki kemampuan dan pengalaman untuk dapat mengatasi hal-hal tersebut.
“SDM di sektor migas harus selalu memonitor dan siap menghadapi dinamika yang terjadi di bawah permukaan karena mengandung ketidakpastian. Semua itu memerlukan pengalaman dan kompetensi,” tegasnya.
Ia kembali mengingatkan, SDM merupakan salah satu topik bahasan penting dalam alih kelola Blok Rokan. Terkait ketenagakerjaan, saat ini diinformasikan telah rampung 70% dengan pencapaian kesepakatan transfer karyawan antara PT CPI dan PT Pertamina melalui Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Tutuka juga mengatakan pemerintah akan terus memberikan dukungan, antara lain dalam bentuk SDM yang berkompeten dan berpengalaman dalam peralihan kelola Blok Rokan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina pada 9 Agustus 2021 mendatang. Tujuannya agar produksi Blok Rokan dapat terus terjaga, bahkan meningkat.
Right Honourable Lord Cullen of Whitekirk dalam rapat umum tahunan International Association of Oil and Gas Producers atau IOGP, menyebutkan beberapa insiden besar dalam industri migas disebabkan atau diperburuk oleh faktor manusia. Antara lain insiden reaktor Three Mile Island pada tahun 1979, Piper Alpha pada tahun 1988, Montara pada tahun 2009, Texas City pada tahun 2005 dan Deepwater Horizon pada tahun 2010.
Cullen sendiri dikenal di industri hulu minyak dan gas karena laporannya yang penting tentang insiden piper alpha . Sebuah kecelakaan yang terjadi pada 6 Juli 1988 di North Sea, Skotlandia. Dalam peristiwa tersebut, ledakan dan kebakaran merenggut 167 nyawa dan disebut kecelakaan paling banyak meminta korban jiwa dalam pengeboran offshore.
Laporan yang disampaikan Cullen kemudian menjadi cetak biru keselamatan untuk instalasi lepas pantai. Sebanyak 106 rekomendasinya diterima oleh industri dan tetap menjadi praktik standar 30 tahun kemudian.
Cullen menekankan pengelolaan faktor manusia sangat penting untuk manajemen keselamatan yang efektif secara keseluruhan. Komitmen tenaga kerja terhadap keselamatan bergantung pada kepemimpinan, keterlibatan, dan komunikasi yang baik. Lingkungan kerja harus mempromosikan keselamatan dan perlindungan terhadap kegagalan manusia dan konsekuensinya.
“Ini sama pentingnya dengan masalah hidup dan mati,” ujarnya, dilansir dari laman IOGP, 13 Juli 2017.
IOGP menyebutkan pada 2019, industri mencatatkan 25 kematian dalam 22 insiden terpisah selama sekitar 3 miliar jam kerja. Angka ini turun dibandingkan 2018 dengan 31 kematian untuk jumlah jam kerja yang hampir sama.
Hal ini menghasilkan pengurangan yang valid secara statistik dalam fatal accident rate atau FAR sebesar 19%. Pada 2018, FAR adalah 1,01 kematian per 100 juta jam kerja, menjadi 0,82 FAR pada 2019.