Anggota Komisi VII DPR RI dari PKS, Mulyanto mengharapkan, pemerintah untuk menggenjot pemanfaatan listrik dari sumber energi matahari atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai motor bagi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Menurutnya, Indonesia memiliki harta karun dari sumber energi matahari yang sangat besar sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan.
“Kita ini kan negara yang dilalui garis khatulistiwa, dimana matahari bersinar sepanjang waktu. Sehingga sayang jika karunia tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal,” kata Mulyanto, Sabtu (13/3/2021).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi energi surya mencapai lebih dari 200 GW. Sementara sampai tahun 2020, pemanfataan listrik dari sumber energi ini baru mencapai 150 MW atau sebesar 0,07%-nya. Jumlah tersebut masih sangat kecil dibanding pemanfaatan sumber energi lain.
Selain itu, tambah Mulyanto, PLTS memiliki keunggulan dari segi fleksibilitas lokasi pembangkit. Tidak seperti sumber energi lain yang sangat rigid terkait lokasi pembangkitnya. Bahkan panel listrik energi surya ini dapat dipasang di atas atap rumah atau kantor.
Dan yang utama, karena perkembangan teknologi harga energi surya terus turun dan semakin kompetitif. Menurut data Kementerian ESDM, pada tahun 2013 harga listrik dari sumber tenaga surya sebesar 20 sen dolar (per kWh). Lima tahun terakhir harganya menurun sampai separonya menjadi 10 sen.
Hari ini PLTS Apung di Cirata harganya 5,8 sen dolar (per kWh). Bahkan, diinformasikan ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya sebesar 4 sen dolar per kWh.
“Ini kan sangat kompetitif dibanding energi panas bumi atau fosil. Karenanya kini saatnya Pemerintah menggenjot pengembangan harta karun energi yang berlimpah ini untuk mengejar target EBT 23% di tahun 2025, yang tinggal 4 tahun lagi. Khususnya untuk daerah-daerah defisit listrik. Jangan sampai di daerah Indonesia Timur dan pulau-pulau kecil, masih belum tersentuh listrik,” paparnya.
Sebab, meskipun secara nasional surplus listrik mencapai 30 persen. Namun, kelebihan pasokan tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa dan tidak dapat dinikmati masyarakat di pedalaman dan kepulauan. Sehingga menimbulkan gap produksi dan distribusi.
“Kehadiran PLTS dapat menjadi salah satu solusi mengatasi masalah gap distribusi ini,” ujarnya.
“Selain itu, pemasangan pembangkit PLTS ini perlu diprioritaskan pada daerah-daerah yang masih menggunakan listrik dari sumber BBM impor, dalam rangka menurunkan Biaya Pokok Produksi listrik yang pada akhirnya akan mengurangi subsidi listrik dari Pemerintah,” pungkasnya.