Saat Lima Raksasa Minyak Dunia Buntung, Pertamina Malah Untung

0
921

Pandemi Covid-19 telah membuat perusahaan minyak kelas dunia rugi besar, tak terkecuali lima perusahaan terbesar, yakni BP, Shell, Exxon, Total, dan Chevron. Ambruknya harga minyak dunia sepanjang 2020 akibat anjloknya permintaan energi akibat pandemi, menjadi penyebab hampir semua perusahaan minyak dunia, besar dan kecil merugi. Bisa jadi, Pertamina satu-satunya yang untung.

Selasa (9/2/2021), Total merupakan perusahaan minyak terakhir yang mengumumkan kinerjanya. Empat perusahaan yang sudah merilis kinerja kuartal IV sekaligus kinerja sepanjang 2020. Penjualan lima perusahaan tersebut turun, dan mereka juga mencatat kerugian yang sangat besar. Kerugian terjadi terutama dalam operasi upstream atau penambangan minyak mentah dan gas.

Dari sisi penjualan, Shell yang mencatat penurunan paling tajam, yakni sebesar 48 persen menjadi AS$183,2 miliar. Sedangkan dari segi raihan laba bersih, raksasa minyak Inggris BP yang mencatatkan kinerja terburuk di antara lima perusahaan minyak terbesar di dunia ini. Pemilik ladang gas Tangguh, Papua, ini labanya menyusut 595 persen menjadi minus AS$20,7 miliar.

“Tahun 2020 akan selamanya dikenang karena rasa sakit dan kesedihan yang disebabkan oleh Covid-19. Banyak nyawa yang hilang, dan mata pencaharian yang hancur. Pandemi Covid-19 merupakan tragedi kemanusiaan. Tak hanya nyawa, Ia juga mempengaruhi kesehatan mental kita,” kata Bernard Looney, Chief Executive Officer BP, seperti dikutip dalam situsnya.https://datawrapper.dwcdn.net/BjFxX/1/

Ketua Dewan Direksi dan Chief Executive Officer Chevron Mike Wirth punya ungkapan lain untuk menggambarkan kondisi perusahaan pada tahun lalu. “Tahun 2020 adalah tahun yang tidak ada bandingannya,” katanya dalam pernyataannya tentang kinerja Chevron. Pendapatan Chevron tahun lalu turun 35 persen menjadi hanya AS$94,7 miliar, terkecil di antara lima besar perusahaan minyak.

Sebagaimana yang lain, Chevron juga rugi. Kerugian perusahaan minyak Amerika Serikat ini memang yang paling kecil di antara “the big five”, yakni sebesar AS$5,54 miliar. Tapi, laba bersih Chevron sejak 2019 memang yang terkecil di antara lima besar. Pada tahun itu, Chevron hanya mampu meraih keuntungan AS$2,92 miliar.

Harga WTI minus

Pandemi telah menghancurkan perekonomian dunia. Hampir semua negara memberikan reaksi yang sama: membatasi mobilitas penduduk atau kegiatan yang melibatkan orang banyak. Pergerakan barang dan jam operasi juga dibatasi. “Sektor kami terpukul sangat keras. Transportasi darat dan udara menurun, yang berdampak pada turunnya permintaan minyak, harga, dan margin,” kata Looney.

Pasar minyak dunia pada 2020 memang menghadapi masa sulit yang luar biasa. Pada 5 Januari 2020, harga minyak sudah mulai turun seiring dengan perkembangan kasus Covid-19 di Cina. Pada 23 Januari, Cina mengisolasi Provinsi Wuhan dan Hubei. Enam hari kemudian, seluruh provisi di Cina terdampak pandemi. Pada 31 Januari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi global.

Sejak itu, harga minyak dunia terus meluncur ke bawah akibat permintaan yang turun. Pada 22 Desember 2019, harga West Texas Intermediate (WTI) masih A$61,72 per barel, pada 22 Maret sudah terjungkal sampai AS$21,51 per barel. Pada Februari, permintaan minyak mentah dunia turun 4,2 juta barel per hari dengan total produksi sekitar 100 juta barel per hari. Sebanyak 3,6 juta barel di antaranya merupakan permintaan dari Cina.https://lokadata.beritagar.id/chart/embed/harga-minyak-mentah-dunia-2020-1612926237

Pada 6 Maret, Organisasi Negara Penghasil Minyak (OPEC) plus negara produsen minyak non-OPEC bertemu membicarakan rencana mereka memangkas produksi minyak dunia sebesar 2,1 juta barel per hari. Sebulan kemudian, karena permintaan semakin anjlok, pada 12 April, OPEC+ sepakat memangkas produksi 9,7 juta barel. Ketika itu, harga WTI sudah jeblok sampai AS$18,27 per barel. Keputusan ini berlaku mulai 1 Mei.

Kesepakatan ini ternyata tak mampu menghentikan laju penurunan harga minyak. Bahkan, pada 20 April harga WTI sempat negatif AS$37,63 dengan kondisi pasar minyak dunia pada hari tanpa permintaan alias demand nol barel. Kesepakatan yang benar-benar dijalankan oleh OPEC+ membuat harga minyak mulai Mei naik. Pada 31 Desember 2020, harga WTI sudah AS$48,52 per barel.

Dari laporan keuangan kuartal IV, terekam harga minyak lima perusahaan minyak terbesar dunia itu turun rata-rata 30-40 persen. Penurunan harga gas juga berada di kisaran tersebut. Harga rata-rata minyak Total pada 2020, misalnya, sebesar AS$41,8 per barel, turun 35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Harga gas rata-rata juga hanya AS$3,3 per mmbtu, turun 31 persen.

Dampak langsung dari penurunan harga minyak ini adalah pada laba usaha pada sisi upstream (penambangan minyak mentah). Lima perusahaan ini semuanya merugi di sisi upstream. ExxonMobil, misalnya, dari operasi penambangan minyak di Amerika mencatat rugi usaha sampai AS$19,3 miliar, padahal tahun sebelumnya masih mendapatkan untung AS$536 juta.

Kondisinya sedikit berbeda pada sisi downstream (penjualan BBM atau pengolahan hasil minyak). Beberapa di antara mereka masih ada yang hanya mencatat penurunan laba usaha sisi downstream, tak sampai merugi. Chevron, misalnya, dari penjualan BBM internasional meraih laba usaha AS$618 juta, turun dari tahun sebelumnya AS$922 juta. Laba usaha BP di downstreamjuga turun dari AS$6,4 miliar pada 2019 menjadi AS$3,1 miliar pada tahun lalu.

Meskipun semua perusahaan minyak ini melakukan efisiensi, toh mereka tetap tak mampu menghindari kerugian. Royal Dutch Shell, misalnya, memangkas belanja, termasuk biaya produksi dari AS$252,9 miliar menjadi AS$117,1 miliar, namun penghematan tersebut tak mampu mencegah Shell merugi hingga AS$21,5 miliar. Empat perusahaan yang lain juga melakukan hal yang sama.

Tahun ini, harga minyak sudah mulai bergerak naik. Harga WTI pada Jumat (12/2/2021) sudah di posisi AS$59,73 per barel, tertinggi dalam 13 bulan terakhir. OPEC+ sepakat menambah produksi 500 ribu barel per hari, turun dari rencana semula 2 juta barel karena perkembangan varian baru virus Covid-19.

Pertamina untung

Nasib berbeda dialami Pertamina dalam meraih keuntungan. Meskipun sempat rugi di Semester 1 2020 sebesar AS$767,9 juta atau Rp 11,13 triliun, Pertamina berhasil menutup tahun 2020 dengan meraih laba bersih sebanyak AS$1 miliar atau setara dengan Rp 14 triliun.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina berhasil meraih untung karena efisiensi di semua lini, baik upstream maupun downstream. Salah satunya adalah dengan memborong BBM ketika harga sedang murah. “Kami menyimpan di penyimpanan di darat (landed storage) maupun penyimpanan terapung (floating storage),” katanya seperti dikutip Tempo.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, salah satu penyebab Pertamina bisa meraih keuntungan adalah regulasi yang mengatur harga penjualan BBM. “Berbeda dengan perusahaan minyak global yang bergantung pada harga pasar, harga jual BBM Pertamina diatur oleh regulasi,” katanya.

Regulasi ini diatur di dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan bakar Nelayan.

Di sini, harga BBM diatur berdasarkan harga rata-rata produk kilang minyak di Singapura yang ditujukan untuk menjaga kestabilan harga jual jenis bahan eceran bahan bakar bensin dan solar. “Makanya kita lihat, ketika harga minyak mentah jatuh, harga BBM kita kan nggak turun. Padahal, Pertamina mengimpornya dengan harga yang rendah banget,” ujar Fabby.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here