EBT Buatan Anak Negeri Bisa Jadi Solusi Tingginya Tarif Listrik

0
2381
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali menyampaikan pandangannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/3/2021). Raker tersebut membahas dampak pemotongan anggaran APBN Tahun Anggaran 2021 serta presentasi Menpora tentang desain besar keolahragaan nasional sebagai bahan pertimbangan bagi revisi UU nomor 3 tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

Pembayaran tarif listrik tiap bulan menjadi salah satu pengeluaran yang cukup memberatkan bagi sebagian orang. Apalagi, jika pemerintah menaikkan tarif listrik. Saat ini, Kementerian ESDM mengusulkan pengurangan subsidi listrik PLN untuk tahun anggaran 2022. Usulan tersebut disampaikan Direktorat Jenderal EBTK dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI tanggal 7 April 2021 lalu.

Anggota Banggar DPR dari Fraksi Golongan Karya, Dave Laksono mengatakan, usulan tersebut masih perlu dibahas lebih lanjut. Sebab ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum akhirnya disetujui atau ditolak.

“Memang itu (usulan pengurangan subsidi listrik) dibahas tapi belum secara langsung diputuskan begitu saja. Harus dilihat dampak negatif terhadap perputaran ekonomi kaya gimana,” kata Dave, Jakarta, Kamis (15/4).

Tingginya tarif listrik sebenarnya bisa disiasati dengan energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satunya berupa penggabungan solar panel dan power storage system (baterai penyimpan energi skala besar) yang diberi nama PowerWall karya anak-anak milenial dalam negeri di bawah naungan Baran Energy.

Chief Executive Officer (CEO) sekaligus founder Baran Energy, Victor Wirawan mengatakan, teknologi karya anak bangsa ini telah bisa digunakan oleh masyarakat umum dan dipastikan aman. Dalam operasionalnya, perusahaan menyediakan teknologi baterai berkapasitas penyimpanan beragam, termasuk 8.000 KWh yang cocok untuk rumahan.

“Tagihan listrik akan dihemat karena daya berlebih disimpan dalam PowerHome,” kata Victor saat berbincang dengan media beberapa waktu lalu.

Cara kerja teknologi ini juga tidak begitu rumit. Pada rumah yang memasang teknologi ini akan dipasang solar panel yang mengambil energi dari matahari pada siang hari. Energi tersebut akan disimpan di PowerHome dan dialirkan ke rumah.

“Teknologi ini aman, kita juga siapkan teknisi jika ada kendala. Kita beri garansi hingga 10 tahun,” kata Victor.

Namun demikian, untuk memasang perangkat ini, konsumen memang harus membayar sedikit lebih mahal di awal. Di mana, harga paket Baran PowerHome dibanderol sebesar Rp150 juta. Namun kata Victor, konsumen juga bisa mencicil ke perusahaan hingga 10 tahun.

“Tapi mereka tidak bayar listrik PLN lagi, setelah lunas tinggal nikmati listrik gratis,” katanya.

Adapun skema cicilan ditawarkan beragam, yaitu seperti skema cicilan 10 tahun dengan uang muka 50 pesen, maka cicilannya hanya Rp800.000 sebulan. Sedangkan untuk uang muka 25 persen dengan cicilan 10 tahun dengan besaran Rp1,2 juta per bulan.

“Tak perlu khawatir kita garansi mencakup kerusakan terjadi pada perangkat hingga 10 tahun.”

Victor menegaskan, pengembangan teknologi ini sangat selaras dengan program pemerintah Indonesia yang menargetkan penggunaan energi terbarukan sebanyak 25 persen pada tahun 2025 mendatang.

Evaluasi Aturan PLTS Atap

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, pemanfaatan energi surya dapat mempercepat pemenuhan target bauran EBT 23 persen di tahun 2025. Untuk mendukung pemanfaatan tenaga surya, pemerintah bakal mengevaluasi aturan tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dipasang di atap rumah atau bangunan masyarakat.

“Sekarang ini lagi didiskusikan dengan PLN bagaimana Permen (Peraturan Menteri)-nya bisa mendorong. Sekarang yang berlaku kan Permen Nomor 49 Tahun 2018, kami akan dorong supaya lebih menarik untuk hal ini,” ujar Dadan dalam webinar Central Java Solar Day 2021, Selasa (16/2).

Dadan menjelaskan, sebenarnya tidak ada transaksi jual beli listrik tenaga surya dari produsen (misalnya di rumah tangga) ke PLN. Produsen hanya ‘menitipkan’ listrik berlebih yang mereka hasilkan ke PLN agar dapat digunakan lagi kala dibutuhkan kelak.

“Jadi yang ada itu dikirim ke PLN, lalu dititip di sana, saat butuh diambil. Saat nitip ada biaya titipnya, sekarang biayanya 35 persen,” jelas Dadan.

Dirinya juga menegaskan, listrik yang dititipkan merupakan kelebihan produksi, bukan yang sengaja diproduksi. “Yang ada hanya hitungan meternya, berapa masuk ke PLN dan berapa ngambil dari PLN jadi selisihnya dihitung. Jadi tidak ada yang namanya jual beli,” katanya.

Pemerintah sendiri mendorong pemanfaatan PLTS atap baik di atap rumah atau bangunan perusahaan, kantor dan pabrik. Selain potensi tenaga suryanya besar, sistemnya sudah tersedia dan regulasinya tidak sulit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here