Target bauran energi nasional dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen dari total kebutuhan sulit tercapai jika hambatan yang ada selama ini tidak dicari solusinya.
Berdasarkan skenario Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 mendatang pemanfaatan EBT ditargetkan 23 persen atau 24 gigawatt (GW). Namun, hingga 2020 lalu, kontribusi EBT terhadap total kebutuhan energi nasional baru mencapai 11,2 persen atau 11,6 GW.
Pengamat EBT dari Universitas Brawijaya Malang, Setyawan Purnomo Sakti, yang diminta pendapatnya, Senin (10/5), mengatakan pemerintah perlu aktif menyelesaikan berbagai hambatan yang berpotensi memperlambat pemanfaatan energi hijau tersebut karena lebih menguntungkan di masa mendatang.
“Ini tujuannya baik, maka negara perlu hadir mengarahkan dan mendorong langsung percepatan pemanfaatan EBT, baik melalui kebijakan, regulasi, insentif keringanan pajak, atau banyak cara lainnya,” kata Setyawan.
Di negara-negara maju yang sudah mengembangkan lebih dulu, pada awalnya pun pemerintah menghilangkan hambatan-hambatan yang ada, misalnya pemotongan pajak untuk komponen-komponen yang diimpor pembangkit EBT.
Perguruan tinggi harus didorong menyiapkan tahapan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang lebih fokus pada bagaimana kegunaan, pemakaian maupun pemerliharaan teknologi energi tersebut untuk masyarakat.
“Bila kita tidak ingin ketinggalan, semua ini harus segera dimulai, karena peralihan untuk memiliki pembangkit sendiri prosesnya panjang, tidak cukup dalam satu-dua periode pemerintahan,” tukas Setyawan.
Sementara itu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengatakan pengembangan EBT masih menghadapi hambatan pasar sehingga tidak bisa signifikan menyalip energi kotor dari bahan bakar fosil.
Ketua Umum METI, Surya Darma, mengatakan hambatan masuk pasar atau market entry barriers antara lain dari komponen subsidi energi untuk bahan bakar fosil, tarif regulasi elektrifikasi, dan tarif energi bersih yang tidak atraktif menyebabkan proyek pengembangan energi terbarukan cenderung lamban. “Tiga aspek ini harus dihilangkan jika energi terbarukan ingin dikembangkan lebih tinggi,” kata Surya dalam keterangan tertulisnya.
Pada 2021, pemerintah memberikan subsidi untuk jenis bahan bakar minyak tertentu, seperti solar dan elpiji tiga kilogram mencapai 54,5 triliun rupiah, naik dari tahun 2020 yang hanya sebesar 41,1 triliun rupiah.
Padahal, harga minyak dunia sempat menyentuh posisi terendah, bahkan sempat menyentuh harga di bawah 0 dollar AS per barel untuk pertama kali dalam sejarah pada April 2020, tetapi subsidi yang diberikan tetap tinggi.
Selain subsidi BBM, pemerintah juga memberikan subsidi untuk listrik yang mayoritas bahan bakar pembangkit masih bersumber dari energi fosil. Sepanjang tahun ini, subsidi listrik yang digelontorkan mencapai 53,6 triliun rupiah, lebih rendah ketimbang tahun 2020 yang sebesar 54,5 triliun rupiah.
Di sisi lain, harga energi terbarukan masih terbilang mahal sehingga membuat proyek pengembangannya masih kurang menarik. Pemerintah, jelas Surya, perlu merumuskan harga kebijakan terlebih dahulu sebelum mendorong pengembangan energi terbarukan agar masyarakat dan industri tertarik beralih dari energi kotor ke energi bersih.
Dia berharap stimulus fiskal yang cukup besar untuk energi fosil secara bertahap dialihkan untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan berskala besar di Indonesia. “Stimulus sangat penting menurunkan harga jual agar terjangkau oleh masyarakat,” kata Surya.
Belum Ada Kepastian
Secara terpisah, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan kendala EBT adalah kebijakan dan regulasi yang belum memberikan kepastian bagi pengembang. Selain itu, ketidakpastian untuk lelang proyek serta proses Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PLN kadang cukup lama.
“Terakhir, subsidi bahan bakar fosil membuat energi terbarukan kurang atraktif,” katanya.