Hasrat besar pemerintah untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 24% agaknya sulit tercapai. Ada problem klasik, yakni tak banyak lembaga pembiayaan melirik sektor energi bersih lantaran belum bisa mendatangkan keuntungan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai, kendala yang kerap ditemukan pengembang EBT adalah jumlah proyek yang bankable terbatas. Hal ini yang menyebabkan lembaga keuangan khususnya bank sangat berhati-hati mengucurkan pendanaan. “Karena persepsi risiko yang tinggi terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia,” ungkap dia kepada KONTAN, Rabu (11/8).
Fabby menilai, pada beberapa kasus, kemampuan finansial swasta domestik relatif terbatas, modalnya tidak kuat, dengan ketentuan bank lokal menuntut tingkat ekuitas yang cukup tinggi (30%-40%). “Investor lokal mengalami kesulitan memenuhi ketentuan ini,” ujar dia. Fabby menegaskan, penurunan emisi karbon di sektor energi dilakukan melalui peningkatan energi terbarukan. Untuk itu, lembaga keuangan saat ini seharusnya melihat pembiayaan energi terbarukan sebagai bisnis yang prospektif. Dengan dukungan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang green finance, lembaga keuangan harus aktif mencari proyek-proyek energi baru dan terbarukan yang didanai.
Selain itu, mereka perlu memperkuat kapasitas internal, meningkatan kemampuan penilaian risiko dan membuat produk-produk pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia. “Lembaga keuangan juga perlu menjadikan pembiayaan batubara masuk dalam exclusion list, dan memfokuskan pembiayaan ke energi bersih, energi terbarukan dan efisiensi energi,” ungkap Fabby.Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Kamdani memaparkan, transformasi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan membutuhkan investasi lebih besar. Selain memanfaatkan alokasi keuangan publik seperti APBN, keuangan swasta sangat penting. “Perlu dorongan dunia perbankan dan penyedia layanan keuangan untuk mengatasi implikasi strategis ini,” kata dia. Namun saat ini masih ada hambatan bagi swasta untuk berinvestasi karena kurang minatnya lembaga keuangan lokal membiayai sektor EBT. Pasalnya, suku bunga pembiayaan EBT masih tinggi. Selain itu, investasi di sektor EBT dianggap punya risiko yang besar. Asal tahu saja, potensi EBT di Indonesia kurang lebih 418 Giga Watt yang berasal dari berbagai sumber.