Komisi VI DPR RI – yang salah satu tugasnya mengawasi sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) – merestui PT Pertamina (Persero) untuk segera melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 92 atau Pertamax.
Pasalnya, harga jual bensin Pertamax ini sudah jauh dari nilai keekonomian.
Dalam salah satu poin kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI bersama Pertamina, disebutkan bahwa Komisi VI DPR RI mendukung Pertamina untuk melakukan penyesuaian Pertamax yang mengikuti harga pasar. Hal ini dilakukan agar kinerja keuangan perusahaan migas pelat merah itu tak semakin boncos.
“Komisi VI DPR RI mendukung penyesuaian harga bahan bakar minyak non subsidi yang mengikuti harga keekonomian minyak dunia untuk menjamin kesehatan keuangan Pertamina dalam menjalankan penugasan pemerintah,” bunyi salah satu poin kesimpulan yang dibacakan Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima dan disetujui anggota dalam RDP, Senin (28/3/2022).
Di samping itu, Komisi VI juga mendesak supaya pemerintah dapat melakukan pembayaran atas piutang Pertamina, sehingga kondisi keuangan perusahaan tak terganggu dalam proses penyaluran BBM ke pelosok negeri.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati pada forum yang sama juga meminta dukungan kepada Komisi VI DPR RI agar pihaknya dapat segera diizinkan untuk menaikkan harga BBM non subsidi jenis RON 92 atau Pertamax.
Menurut Nicke, dalam menyikapi kenaikan harga minyak mentah dunia yang kini telah di atas US$ 100 per barel, Pertamina sejauh ini hanya melakukan penyesuaian harga untuk beberapa jenis BBM non subsidi, seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex yang secara volume hanya 2% dari total penjualan BBM Pertamina.
Adapun ketiga produk BBM non subsidi tersebut mengalami kenaikan harga yang bervariasi berdasarkan masing-masing wilayah dan sudah dilakukan dua kali pada Februari dan Maret 2022. Namun penyesuaian harga hingga kini masih belum dilakukan untuk produk BBM non subsidi jenis bensin Pertalite dan Pertamax.
Hingga kini, harga jual bensin Pertalite dan Pertamax masing-masing masih dibanderol pada Rp 7.650 dan Rp 9.000 per liter, tidak naik sejak dua tahun lalu.
“Even Pertamax digunakan untuk mobil bagus, jadi sudah sewajarnya dinaikkan karena ini bukan masyarakat miskin,” kata Nicke.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi juga mendorong agar pemerintah mengizinkan Pertamina untuk segera melakukan penyesuaian harga Pertamax. Pasalnya, jika tidak segera dinaikkan, ini akan cukup berdampak bagi keuangan Pertamina
Menurut Fahmy, di tengah tren kenaikan harga minyak dunia, hal ini akan membuat beban Pertamina semakin berat. Apalagi, imbuhnya, piutang perusahaan migas pelat merah ini kepada pemerintah tak kunjung dibayar pemerintah.
“Piutang Pertamina kepada Pemerintah selama empat tahun belum dibayar. Tidak menutup kemungkinan dampak terburuk Pertamina shortage of cash untuk impor BBM,” ujar Fahmy.
Di samping itu, Pertamina menurut Fahmy sudah berjanji untuk akan menjaga pasokan BBM di dalam negeri. Namun fakta di lapangan, Solar bersubsidi mengalami kelangkaan di berbagai SPBU.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi harga keekonomian atau batas atas BBM jenis RON 92 atau Pertamax pada April mendatang dapat tembus mencapai Rp 16.000 per liter.
Hal tersebut dengan mempertimbangkan harga minyak mentah dunia yang terus mengalami kenaikan saat ini.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, dengan mempertimbangkan harga minyak bulan Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari, maka pemerintah memprediksi harga keekonomian atau batas atas Pertamax di April akan lebih tinggi lagi menjadi Rp 16.000 per liter, dibandingkan harga batas atas di bulan Maret yang diperkirakan Rp 14.526 per liter.
“Bisa jadi sekitar Rp 16.000 per liter. Jadi sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bapak Menteri ESDM, saat ini kita masih mencermati harga minyak ini, karena kalau berkepanjangan memang bebannya berat juga baik ke APBN, Pertamina dan sektor lainnya,” ujar Agung dalam keterangan tertulis, Jumat (25/3/2022).
Berdasarkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah memiliki kewajiban alias utang kepada Pertamina dan PLN dengan total mencapai Rp 109 triliun hingga akhir 2021.
Selama 2020, kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena tidak ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp 63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp 47,9 triliun. Di mana khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp 15,9 triliun.
Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi yang harus dibayarkan, yaitu Rp 93,1 triliun.
Maka dari itu, total kompensasi yang harus dibayarkan saat ini adalah Rp 109 triliun, meliputi Rp 84,4 triliun untuk BBM dan Rp 24,6 triliun untuk listrik.
Sumber asli: cnbcindonesia.com