Seputarenergi.com- Pengembangan hidrogen hijau atau green hydrogen memegang peranan strategis dalam mengejar target dekarbonisasi sistem energi global. Sektor industri akan menjadi sasaran utama untuk akselerasi sumber energi yang dinilai sebagai salah satu kontributor transisi energi.
“Hidrogen hijau adalah pilar utama dekarbonisasi untuk industri. Kami membutuhkan teknologi yang dapat memberikan kontribusi signifikan dalam aplikasi industri seperti pembuatan semen, keramik atau kaca,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, pada webinar G20 Side Event Series: Accelerating Green Hydrogen Technologies and Energy Storage for The Energy Transition, di Jakarta, Rabu (15/6).
Urgensi hidrogen hijau dinilai sama pentingnya dengan penyimpanan baterai (energy storage) di masa mendatang. Bahkan, pemerintah Indonesia memasukkan aturan pemanfaatan hidrogen dalam rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif keuangan bagi sektor publik maupun privat yang ingin mengoptimalkan hidrogen hijau.
Di Indonesia, pengembangan hidrogen hijau sejalan dengan potensi energi terbarukan yang sangat besar. Kementerian ESDM dan pemerintah Jerman melalui Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) telah mempelajari potensi pasar hidrogen hijau di Indonesia, sekitar 1.895 kT per tahun pada 2021, termasuk untuk industri (urea, amonia, refinery, methanol), dan permintaan lainnya seperti pembuatan biofuel, baja hijau, jaringan pulau, dan sel bahan bakar kendaraan berat.
Dadan menuturkan ada beberapa rencana investasi ydrogen hijau dan proyek percontohan yang sedang berjalan, yaitu hibrida hidrogen hijau dari tenaga surya dan angin di Sumba Timur (7-8 megawatt/ MW), pilot project di Ulubelu dengan memanfaatkan kondensat panas bumi, rencana proyek di Kalimantan Utara dan Papua dari pembangkit listrik tenaga air besar, dan pemanfaatan hydrogen hijau di ibu kota baru pada tahun 2045 (4.000 untuk transportasi umum dan 21.000 ton untuk sektor industri.
Meski demikian, Dadan mengungkapkan terdapat beberapa faktor keberhasilan dalam implementasi proyek hidrogen hijau, mulai dari penetapan kebijakan, akses sumber daya, pasar potensial, standar, ketersediaan teknologi hingga dukungan finansial.
“Setiap negara memiliki karakteristik berbeda dalam pengembangan hidrogen hijau, tetapi memiliki kebutuhan teknologi dan pendanaan yang sama. Tantangannya, bagaimana hidrogen hijau layak secara ekonomi, menarik secara finansial, dan berguna bagi masyarakat,” tegasnya.
Chair Energy Transistions Working Group (ETWG), Yudo Dwinanda Priaadi, menjelaskan hidrogen dan penyimpanan energi akan mendukung pengembangan berbagai EBT untuk mengatasi masalah intermiten melalui Variable Renewable Energy (VRE). Dia mendorong hidrogen bisa menjadi solusi energi di masa mendatang, terutama bagi negara anggota G20.