Site icon Seputar Energi

Jokowi Undang G7 Investasi EBT, AESI: Indonesia Belum Jadi Incaran

Seputarenergi.com- Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan Indonesia belum menjadi target dari investasi energi baru dan terbarukan (EBT) dari negara maju dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara.

Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa menerangkan hal itu disebabkan karena sejumlah kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan cenderung kontra-produktif dengan agenda besar untuk peralihan ke energi bersih. Bahkan, Fabby mengatakan beberapa kebijakan yang dikeluarkan justru menghambat daya tawar dari iklim investasi EBT di dalam negeri.

Selain itu, Fabby mengatakan agenda pengembangan EBT sepenuhnya bertumpu pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang belum optimal mendorong iklim investasi hijau. Konsekuensinya, pengembangan EBT serta investasi yang mengikutinya tumbuh relatif lamban berdasar pada arah kebijakan perusahaan listrik pelat merah itu.

“Pengembangan EBT sangat bergantung pada PLN, sedikit sekali proyek yang bankable untukinternational project finance,” kata Fabby saat dihubungi, Selasa (28/6).

Di sisi lain, Fabby mengeluhkan eksekusi pemerintah untuk menegakkan aturan pro transisi energi cenderung lemah di lapangan. Misalkan, dia mencontohkan, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) tidak mendorong insentif bagi masyarakat dan swasta yang ingin meningkatkan kapasitas listrik bersih terpasang mereka.

“Ini terlihat dari pelaksanaan Permen ESDM No. 26/2021 yang diganjal pelaksanaannya oleh PLN,” kata dia.

Sebagian investor, kata dia, masih menunggu terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditargetkan rampung pada tahun ini.

Menurut dia, pelaku usaha masih ragu untuk berekspansi pada sektor EBT lantaran payung hukum yang berlaku saat ini, Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 50/2017 dan Permen ESDM No. 10/2017 membuat proyek pembangkit EBT tidak bankable.

Konsekuensinya, sebagian besar proyek yang sudah melewati tahap power purchase agreement atau PPA belakangan batal dibangun karena tidak dapat memenuhi kewajiban pembiayaan atau financial closing.

“Realisasi investasi masih rendah karena investor masih wait and see sembari menunggu aturan Perpres Harga EBT diundangkan untuk mengganti Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek EBT tidak bankable,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengajak para pemimpin negara Kelompok Tujuh atau Group of Seven (G7) untuk menanamkan investasi mereka di sektor EBT di Indonesia. Jokowi menilai peluang investasi di sektor itu relatif menjanjikan dengan potensi energi bersih milik Indonesia yang besar.

Ajakan itu disampaikan Jokowi saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G7 sesi working lunch dengan topik perubahan iklim, energi, dan kesehatan di Elmau, Jerman, Senin (27/6).

“Indonesia membutuhkan setidaknya US$25 hingga US$30 miliar [setara Rp444,96 triliun, kurs : Rp14.832] untuk transisi energi delapan tahun ke depan. Transisi ini bisa kita optimalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi, membuka peluang bisnis, dan membuka lapangan kerja baru,” kata Jokowi dikutip dari siaran pers, Selasa (28/6).