Seputarenergi.com- Senjangnya konsumsi energi Indonesia jika dibandingkan dengan produksi harus menjadi salah satu titik balik untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT) di kemudian hari.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan, kondisi keberadaan energi fosil yang melingkupi minyak, gas, dan batu bara sudah sangat terbatas, maka dari itu beralih menjadi suatu keharusan.
“Untuk masuk ke EBT itu sebuah keharusan kalau Indonesia mau selamat,” ujar Sugeng, Kamis (4/8).
Sugeng menyebut, hal tersebut wajib dilakukan karena keberadaan energi harus dijamin oleh negara, di mana energi dapat dijangkau dengan mudah atau tersedia banyak dan infrastruktur yang lengkap dan juga terjangkau secara harga.
“Artinya murah dalam ukuran ekonomi kita, ketiga juga harus berkelanjutan artinya energi tidak boleh berpengaruh terhadap fluktuasi atau keadaan dunia lain yang memungkinkan energi kita bisa hilang atau tidak stabil, bersih lingkungan menyangkut tentang ekologi,” ujarnya.
Sugeng menyebut hal tersebut perlu dilakukan lantaran kondisi minyak di Indonesia sudah sangat terbatas, di mana cadangan minyak hanya menyisakan 2,5 miliar barel. Sedangkan konsumsi minyak terus naik sebagai konsekuensi Indonesia menuju negara maju.
Selain itu, lifting minyak Indonesia rata-rata dalam sehari hanya 630 ribu barel, sementara konsumsi nasional dalam sehari menyentuh 1,370 ribu barel.
“Maka, terjadi gap antara lifting dalam negeri dengan konsumsi yang sangat tinggi. Terjadi kesenjangan kurang lebih 700 ribu barel per hari untuk minyak kita dan itulah yang kita impor, setiap hari kurang lebih 700 ribu barel baik berupa minyak mentah maupun BBM jadi,” ungkapnya.
Hal tersebut diperberat dengan adanya lonjakan harga minyak mentah dunia akibat adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang membuat harga minyak menyentuh US$110 per barel, sedangkan di dalam APBN tahun 2022 pemerintah hanya menetapkan ICP sebesar US$63 per barel.
Hal serupa juga terjadi pada gas, di mana harga internasional sudah menyentuh angka US$1.100 per metrik ton, sedangkan dalam APBN hanya ditetapkan sebesar US$593 per metrik ton.
“Untuk ukuran gas CP Aramco ditetapkan dalam APBN US$593 per metrik ton, dan kenyataanya hari ini CP Aramco yang menjadi standar harga gas sudah mencapai US$1.100 per metrik ton, itu sudah US$500 dolar sendiri selisihnya,” ucapnya.