Sumber EBT Cukup Besar, Berbagai Jalan Ditempuh untuk Gapai Target Energi Bersih

0
430

Seputarenergi.com- Sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia cukup besar.Pemerintah memiliki peran penting untuk menggenjot penggunaan EBT. Sejumlah regulasi digunakan demi mengerek penggunaan EBT di dalam negeri. Hingga tahun 2025, pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23%.

Indonesia gencar mendorong pemanfaatan energi bersih. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan bauran energi bersih dari energi baru dan terbarukan (EBT) di tahun 2025 mencapai 23% dan naik lagi menjadi 31% di 2030. 

Per Juni 2022, bauran energi dari EBT baru mencapai 12,8%. Angka ini masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah di sepanjang tahun 2022, yakni sebesar 15,7%. 

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, sumber EBT yang telah dikembangkan di Indonesia beragam, mulai tenaga surya, air, angin (bayu), bioenergi dan panas bumi. Berdasarkan data ESDM per Juni 2022, sumber EBT telah menghasilkan listrik hingga 17,89 gigawatt. 

Nah, untuk menggapai target bauran EBT, pemerintah akan meningkatkan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). “Karena melimpahnya potensi energi surya di Indonesia dan biayanya semakin kompetitif,” terang Dadan. 

Untuk menggapai target tersebut, pemerintah membuat regulasi melalui Peraturan Menteri terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Aturan yang sudah meluncur sejak tahun 2021 ini telah menjaring banyak pelanggan. ESDM menargetkan ada tambahan 3,6 GW dari PLTS Atap terpasang pada 2025. 

Data Kementerian ESDM, hingga Juni 2022 jumlah pelanggan yang memasang PLTS Atap mencapai 5.848 pelanggan dengan kapasitas 63,71 megawatt (MW). Pemerintah berharap pengembangan EBT bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum tersambung listrik, seperti di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, pulau terluar dan daerah terisolir. 

Sinergi pendanaan

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah menggenjot penyelesaian Peraturan Presiden tentang tarif pembelian tenaga listrik EBT. Dadan berharap aturan ini bisa memperjelas biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. “Dengan aturan ini akan jelas harganya berapa. Harga panas bumi dengan regulasi yang ada sekarang ini tidak bisa masuk, karena basisnya pakai BPP setempat,” papar Dadan. 

Akibat kondisi tersebut, ada perbedaan BPP di tiap wilayah yang membuat biaya produksi menjadi lebih mahal. Terlebih, wilayah tersebut juga mengandalkan bahan bakar minyak (BBM). Maka untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan Perpres yang akan mengatur tarif yang berlaku secara umum. 

Dadan berharap kehadiran aturan tersebut akan memangkas biaya listrik. Dadan juga menyebut, regulasi lain yang sedang digagas ESDM dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait infrastruktur pendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). 

Melalui aturan tersebut, diharapkan ada sinergi dari sisi pendanaan. Dadan mencontohkan, pembangunan pembangkit panas bumi di gunung bisa didukung pendanaan pemerintah untuk pembangunan jalan. “Jalannya juga bisa dipakai oleh masyarakat. Kami bisa mendapatkan listrik PLTP yang lebih murah,” lanjut Dadan.

Tak cukup sampai itu, ESDM juga tengah menggodok aturan pendukung lain. Salah satunya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 70/2009 tentang Konservasi Energi. Kemudian menyusun rancangan Peraturan Pemerintah (Permen) ESDM terkait co-firing untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Co-firing merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batubara pada PLTU. 

Upaya lain pemerintah menambah penggunaan EBT dengan menambah bahan bakar nabati melalui mandatori B30, dengan target di 2022 sebesar 10,1 juta kiloliter (kL). Realisasinya hingga triwulan II-2022 telah mencapai 2,5 juta kL. Untuk jangka panjang yakni 2025 mencapai 11,6 juta kL. 

Selain dalam bentuk peraturan menteri dan presiden, Kementerian ESDM juga mendorong Rancangan Undang – Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan. Dadan mengatakan, pihaknya sedang mendalami penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM). “Batasnya sampai 27 Agustus 2022, kemudian dikembalikan dari pemerintah ke DPR. Setelah itu dibuat panitia kerja,” ujar dia. 

Dadan berharap RUU EBT ini bisa mendorong bauran EBT di dalam negeri. Misalkan penggunaan sumber daya air yang di kawasan konservasi bisa dilepas untuk pemanfaatan EBT. RUU EBT ini juga memberi banyak insentif pengembang energi hijau. 

*Pemerintah juga menggenjot dari sisi permintaan. “Kami menargetkan dalam tiga sampai lima tahun ke depan ada 15 juta rumahtangga bergeser dari LPG ke listrik,” harap Dadan. 

Pemerintah juga menggenjot penggunaan kendaraan listrik. Apalagi total kapasitas terpasang saat ini sudah mendukung. Data PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kapasitas terpasang pembangkit secara nasional mencapai 64.553 MW.  

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here