Pengusaha Bongkar Sulitnya Garap Hilirisasi Batu Bara di RI

0
857

Seputarenergi.com- Air Products and Chemicals Inc, perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, memutuskan mundur dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.

Padahal, Air Products memiliki dua proyek hilirisasi batu bara di Indonesia, yakni proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dan metanol di Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Untuk proyek DME di Tanjung Enim, Air Products bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). Sementara untuk proyek metanol di Kutai Timur, perusahaan AS ini bekerja sama dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources yang membentuk konsorsium bernama PT Air Products East Kalimantan (PT APEK).

Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite mengungkapkan, mundurnya Air Products dari proyek gasifikasi batu bara di RI karena belum disepakatinya skema bisnis dan juga aspek keekonomian antara perusahaan AS dengan konsorsium perusahaan Indonesia.

“Yang terjadi antara PTBA dan Air Products itu skema bisnis yang mungkin belum ketemu aspek keekonomian dan sebagainya,” ungkapnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (09/03).

Lantas, apa yang membuat proyek hilirisasi batu bara di RI sulit dilakukan?

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) turut membeberkan sulitnya menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia. Salah satu yang menjadi kendala adalah kurangnya nilai keekonomian hilirisasi batu bara di Indonesia.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengungkapkan, dari pihak investor yang ingin berinvestasi, proyek hilirisasi batu bara terganjal aspek keekonomian. Dia mengungkapkan keekonomian masih menjadi tantangan utama dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.

“Dipersepsikan oleh pihak investor bahwa aspek keekonomian dari proyek gasifikasi batu bara masih menjadi tantangan,” ucapnya, Jumat (10/3).

Hendra mengatakan, aspek keekonomian ini masih sulit dicapai, terutama karena faktor pendanaan. Seperti diketahui, saat ini proyek berbasis batu bara sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan atau pun lembaga keuangan internasional karena dianggap sebagai sumber energi kotor dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Akibatnya, investasi menjadi mahal.

Selain itu, lanjutnya, biaya teknologi proyek ini pun masih terbilang mahal.

“Aspek keekonomian itu mencakup banyak hal, sulitnya pendanaan untuk proyek-proyek berbasis batu bara membuat investasi jadi lebih mahal, apalagi teknologinya juga terhitung mahal,” tambahnya.

Dia mengungkapkan hambatan lain dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia adalah konsistensi regulasi fiskal dan non-fiskal. Hal ini disebutkan bahwa proyek hilirisasi batu bara merupakan proyek yang sifatnya jangka panjang.

“Proyek juga bersifat jangka panjang, sehingga membutuhkan konsistensi regulasi termasuk dukungan fiskal dan non-fiskal,” bebernya.

Dia juga menilai, harga jual hasil produk hilirisasi batu bara juga perlu diatur. Lalu, harus ada juga kepastian terkait pembeli produknya.

“Selain itu, harga jual juga perlu diatur. Kepastian off-taker, yang juga terkait dengan market atau demand dari produk gasifikasi nanti seperti apa ke depannya. Selain itu harga komoditas yang lagi tinggi juga tentu menjadi pertimbangan dari investor atau funder,” paparnya.

Seperti diketahui, kabar mundurnya Air Products dari proyek gasifikasi batu bara RI dibenarkan oleh PTBA. Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menjelaskan, Air Products sudah mengirimkan surat resmi kepada Pemerintah Indonesia mengenai keputusan tersebut.

Padahal, rencana kerja sama ini sudah dijajaki sejak beberapa tahun lalu, hingga pada 11 Februari 2021 telah dilakukan penandatanganan Cooperation Agreement (CA) antara Air Products dengan PTBA dan Pertamina. Lalu, pada 10 Mei 2021 juga dilanjutkan dengan penandatanganan Cooperation Agreement Amendment (CAA) dan Conditional Processing Service Agreement (CPSA).

Proyek DME ini bahkan didorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena ini bisa mengurangi ketergantungan RI terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Bahkan, pada saat groundbreaking proyek DME 24 Januari 2022 di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini, Presiden Jokowi langsung hadir dan menyaksikan awal pembangunannya.

Proyek DME di Tanjung Enim ini mulanya ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dan diperkirakan menyerap 6 juta ton batu bara per tahunnya.

Dengan produksi 1,4 juta ton DME per tahun, maka diperkirakan bisa menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahunnya. Proyek bernilai investasi US$ 2,1 miliar ini ditargetkan bisa menghemat devisa pengadaan impor LPG hingga Rp 9,14 triliun per tahun.

Sementara terkait proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol di Kalimantan Timur, pengolahan batu bara menjadi metanol mulanya akan dilakukan oleh PT Air Products East Kalimantan (PT APEK) di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

PT APEK merupakan perusahaan patungan (joint venture) antara Air Products dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources.

PT APEK, bergerak dalam bidang usaha industri gasifikasi batu bara menjadi metanol, memiliki rencana investasi sebesar Rp 33 triliun dan target kapasitas produksi sebesar 1,8 juta ton metanol per tahun. Proyek ini ditargetkan beroperasi komersial pada kuartal IV 2024.

Proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol di Bengalon telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dengan adanya proyek ini, diharapkan dapat mengurangi impor gas Indonesia sebesar US$ 7,6 miliar selama masa produksi dan meningkatkan perolehan devisa hingga US$ 4,7 miliar selama masa konstruksi dan produksi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here