Sumberenergi.com- Fahmy Radhi, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat bergantung pada pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Terlebih lagi, pencairan dana tersebut masih belum jelas, seperti yang disinggung oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Fahmy menjelaskan bahwa dana JETP sebesar 20 miliar dolar AS hanyalah komitmen dari negara-negara maju untuk membantu Indonesia dalam program transisi energi. Namun, pelaksanaannya tampak sulit direalisasikan karena Amerika dan negara-negara Eropa masih menghadapi kesulitan ekonomi dan keuangan.
Oleh karena itu, menurut Fahmy, pemerintah harus segera mencari investor. Meskipun dana JETP cair, jumlahnya belum cukup untuk membiayai seluruh program transisi energi yang direncanakan pemerintah.
“Selain pemerintah perlu melakukan lobi agar dana tersebut cair, kita juga harus mencari investor untuk berinvestasi dalam pembangkit energi baru terbarukan,” ujar Fahmy.
Fahmy menegaskan bahwa tanpa pendanaan dari JETP dan investor, transisi energi di Indonesia akan sulit terwujud. Dia berpendapat bahwa PLN tidak mampu melaksanakan program ini sendirian. Sementara itu, dana APBN tidak memungkinkan untuk menggarap proyek ini.
“Dana JETP sebenarnya menjadi harapan. Tetapi saya rasa kehadiran investor juga menjadi keharusan,” tambahnya. “Tanpa investor, jika dana JETP tidak cair, program transisi energi dapat mengalami kegagalan.”
Lebih lanjut, Fahmy menyebut bahwa pemerintah juga harus memberikan insentif kepada investor agar mereka bersedia berinvestasi. Terlebih lagi, negara lain juga memberikan peluang serupa. Artinya, Indonesia harus bersaing.
“Contohnya, pemberian keringanan pajak atau insentif pajak lainnya. Selain itu, diperlukan kemudahan dalam berusaha dan perizinan,” ungkap Fahmy.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa pencairan dana transisi energi melalui skema JETP masih belum jelas bagi pemerintah. Ketika dia mengunjungi Washington, D.C., ibu kota Amerika Serikat, bulan lalu, belum ada kejelasan mengenai pencairan dana tersebut.
Luhut menjelaskan bahwa skema pinjaman yang belum jelas diduga menjadi alasan mengapa dana sebesar 20 miliar dolar AS atau sekitar 310,7 triliun rupiah (dengan asumsi kurs 15.535 per dolar AS) belum cair setelah KTT G20 di Bali akhir tahun lalu.
Luhut juga mengungkapkan rasa kesalnya karena kesepakatan JETP telah dibahas saat KTT G20 diBali pada November 2022. Namun, Luhut yakin bahwa Indonesia masih dapat menjalankan programnya meskipun tanpa bantuan dari JETP.
“Jika harga pinjaman yang ditawarkan seperti pinjaman komersial, abaikan saja. Kita bisa melakukannya sendiri. Mengapa kalian mengatur-atur hal ini,” tegas Luhut.