Interkoneksi jaringan antarpulau di Indonesia dan bahkan antarnegara di ASEAN telah menjadi salah satu faktor kunci dalam mewujudkan integrasi energi terbarukan. Hal ini disampaikan oleh Manajer Program Transformasi Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo. Keberadaan interkoneksi jaringan ini memiliki peranan penting dalam mengatasi kelemahan energi terbarukan yang bergantung pada kondisi cuaca dan cenderung tidak stabil.
“Dengan adanya interkoneksi jaringan, jika terdapat kelebihan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di siang hari, listrik tersebut dapat ditransfer ke lokasi lain,” ungkap Deon dalam sebuah diskusi publik dengan tema “Towards a Decarbonized ASEAN: Unlocking the Potential of Renewables to Advance ASEAN Interconnectivity” yang digelar pada hari Selasa, 13 Juni 2023. Namun, sebelum itu terjadi, Deon menekankan bahwa negara-negara ASEAN perlu memprioritaskan perbaikan investasi energi terbarukan di masing-masing negara dan di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan dengan kerangka regulasi yang menarik.
Pembangunan interkoneksi jaringan yang dapat mengakomodasi integrasi energi terbarukan di Indonesia juga harus dipercepat. Hal ini bertujuan untuk menjaga keselarasan dengan Persetujuan Paris yang bertujuan mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada tahun 2050. Menurut Deon, Indonesia adalah negara dengan perekonomian dan konsumsi energi terbesar di ASEAN serta memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang sangat besar. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi contoh dan memicu percepatan transformasi energi di kawasan ASEAN.
Sementara itu, Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, mengungkapkan bahwa interkoneksi jaringan ASEAN dalam proyek ASEAN power grid juga berdampak pada pembangkit listrik yang sudah ada. Namun, Ashov juga menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah, termasuk percepatan penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “Partisipasi komunitas dan masyarakat sipil perlu dimulai sejak awal agar dampaknya dapat dipahami dengan baik, demi mencapai transisi energi yang adil dan memberikan kehidupan sejahtera serta kemakmuran,” kata Ashov.
Sub Koordinator Program Gatrik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yeni Gusrini, menambahkan bahwa ASEAN saat ini memiliki kapasitas pembangkit listrik sekitar 7.645 megawatt (MW) dalam jaringan interkoneksi yang ada dalam proyek ASEAN power grid. Rencananya, kapasitas jaringan interkoneksi ini akan ditingkatkan menjadi sekitar 19.000 hingga 22.000 MW, serta mencakup wilayah yang lebih luas. “ASEAN power grid berkontribusi dalam pembangunan ekonomi di kawasan ASEAN untuk memenuhi permintaan energi dan mendorong pertumbuhan industri regional,” ujar Yeni. Dia juga menekankan bahwa pada tahap awal, jaringan listrik di Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura telah terinterkoneksi melalui proyek bernama Lao DPR, Thailand, Malaysia, Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP). Jaringan tersebut telah menjadi pelopor dalam mekanisme perdagangan daya, di mana 100 MW listrik telah ditransmisikan dari Laos ke Singapura melalui interkoneksi yang ada.
Peningkatan interkoneksi jaringan antarpulau dan antarnegara di ASEAN membuka peluang besar untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan secara lebih efektif. Dengan adanya integrasi energi terbarukan melalui jaringan ini, negara-negara ASEAN dapat saling mendukung dan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan yang dimiliki, sehingga dapat mencapai tujuan bersama dalam mengurangi emisi karbon dan mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan ini.