Site icon Seputar Energi

Capai Net Zero 2050, ASEAN Perlu Dana Hingga US$ 987 Miliar

ASEAN, sebagai kelompok negara di Asia Tenggara, dihadapkan pada kebutuhan dana yang signifikan untuk mencapai target transisi energi jangka pendek pada tahun 2030, dalam rangka mencapai skenario net zero pada tahun 2050. Menurut Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum, diperlukan dana sebesar US$ 987 miliar, di mana 40% dari total tersebut diperlukan untuk pembangkit listrik, terutama untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan. Namun, pertumbuhan energi terbarukan di kawasan ini masih belum konsisten.

Marlistya mengungkapkan bahwa sejak Persetujuan Paris, masih terjadi aliran dana yang signifikan untuk sektor penambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia, termasuk di Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Total pembiayaan ini mencapai US$ 683 miliar. Oleh karena itu, ASEAN perlu mengkonsolidasikan kebijakan-kebijakan yang berbeda untuk mendorong percepatan transisi energi, termasuk mendorong pasar pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau. Selain itu, diperlukan fasilitas manajemen risiko pengembangan proyek energi terbarukan dan sinergi kebijakan yang mendukung pertumbuhan skema pembiayaan inovatif.

Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. IRENA memprediksi bahwa pada tahun 2050, dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi oleh energi terbarukan. Namun, pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara masih menghadapi hambatan, seperti kesenjangan teknologi dan kekurangan investasi di pasar energi terbarukan.

Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan dari IESR, Farah Vianda, menyatakan bahwa kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 merupakan peluang bagi pemerintah untuk mendorong investasi dalam energi terbarukan di kawasan ini. ASEAN telah terbukti sebagai kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan. Keberadaan taksonomi hijau ASEAN menjadi langkah konkret dari negara-negara anggota ASEAN untuk menjadikan kawasan ini menarik bagi investor.

Menurut Farah, taksonomi hijau ASEAN berfokus pada penghentian penggunaan batubara untuk pembangkit listrik. Hal ini menjadi peluang besar bagi negara-negara ASEAN untuk memulai transisi energi yang didukung oleh momentum Joint Energy Transition Plan (JETP). Namun, perlu juga memperhatikan kriteria yang digunakan untuk memasukkan proyek ke dalam kategori pendanaan hijau. Farah menekankan bahwa Indonesia perlu mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energi, termasuk mengatasi rendahnya investasi di sektor energi terbarukan.

Dengan konsolidasi kebijakan yang kuat, pembiayaan yang berkelanjutan, dan sinergi di antara negara-negara anggota ASEAN, kawasan ini memiliki potensi untuk mempercepat transisi energi dan mencapai tujuan net zero pada tahun 2050. Investasi yang signifikan dalam energi terbarukan akan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca, memperkuat ketahanan energi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di ASEAN.