Site icon Seputar Energi

Menuju Net Zero Emisi 2060, Batu Bara Tersisih, Energi Ini Penggantinya!

Seputarenergi – Perubahan iklim atau climate change merupakan suatu fenomena serius yang tidak dapat dianggap remeh. Dampaknya diyakini lebih parah daripada pandemi COVID-19, dan saat ini sudah menyebabkan penderitaan bagi banyak orang di seluruh dunia.

Untuk mengatasi perubahan iklim, upaya menurunkan pemanasan global telah menjadi komitmen internasional, termasuk bagi Indonesia. Negara ini berjanji untuk mencapai target emisi nol pada tahun 2060. Salah satu langkah konkrit yang diambil adalah mengganti bahan bakar fosil pada pembangkit listrik dengan energi terbarukan.

“Pemanfaatan panas bumi adalah salah satu prioritas yang dapat mengubah rencana pemerintah menuju emisi nol pada tahun 2060,” kata Supriadinata Marza, Direktur Operasi PT Geo Dipa Energi (Persero), dalam wawancara dengan media di PLTP Patuha, Ciwidey, Kabupaten Bandung, akhir pekan lalu.

Potensi panas bumi di Indonesia, sangat besar, mencapai 23 Giga Watt (GW). Namun, hingga saat ini, baru sebagian kecil potensi ini yang dimanfaatkan, yaitu sekitar 2.355 Mega Watt (MW) atau hanya 10% dari total potensi.

Supriadinata menekankan bahwa panas bumi menjadi prioritas dalam menggantikan energi fosil karena tingkat ketersediaannya mencapai 100% dalam setahun (availability factor) dan kapasitasnya mencapai 99% (capacity factor). Artinya, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dapat beroperasi secara kontinu selama 24 jam, berbeda dengan sumber energi lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang hanya bisa beroperasi beberapa jam.

“Ketahanan energi dapat diandalkan melalui pemanfaatan panas bumi. Geothermal memberikan kemandirian energi karena tidak ada lagi biaya transportasi seperti yang terjadi pada batubara dan minyak bumi,” ujarnya.

Namun, Supriadinata juga menyadari bahwa ada banyak tantangan dalam mewujudkan target tersebut. Salah satunya adalah tantangan regulasi, di mana harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah masih belum tercapai. Hal ini menyebabkan proyek yang seharusnya selesai dalam 7 tahun bisa mengalami penundaan menjadi 10 tahun atau bahkan lebih.

Sejarah telah menunjukkan contoh kasus di mana pemerintah provinsi Jawa Barat mengadakan lelang beberapa lapangan pada tahun 2008, namun proyek tersebut baru selesai dan mengalirkan listrik ke masyarakat pada tahun 2018 dan 2019.

“Ketidakharmonisan regulasi menjadi risiko yang perlu ditangani,” tambahnya.

Untuk menghadapi risiko tersebut, Geo Dipa sebagai Special Mission Vehicles (SMV) harus mengambil langkah berani dengan dukungan dari pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Selain itu, risiko yang dihadapi juga meliputi fase eksplorasi hingga proses lelang dan pendanaan yang terjangkau, agar harga panas bumi dapat bersaing dengan sumber energi lainnya.

“Ada risiko tinggi dari sisi keekonomian yang menyebabkan harga geotermal menjadi tinggi, bahkan mencapai dua digit dalam sen USD,” ungkap Supriadinata.

GeoDipa telah menetapkan target untuk mencapai kapasitas pembangkit listrik sebesar 1.000 MW pada tahun 2060. Saat ini, GeoDipa telah berhasil mengoperasikan PLTP di Dieng dan Patuha untuk unit 1 dengan kapasitas masing-masing 60 MW. Pada tahun 2030, GeoDipa berencana menyediakan 400 megawatt (MW) listrik untuk masyarakat dan meningkatkan kapasitas hingga 1.000 MW dalam 30 tahun berikutnya.

GeoDipa juga telah mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk mengembangkan potensi panas bumi di dua wilayah kerja konsesi, yaitu WKP Candi Umbul Telomoyo dengan potensi sebesar 54 MW dan WKP Arjuno Welirang dengan potensi sebesar 230 MW.

Dalam upaya pembiayaan, GeoDipa terus berusaha mencari sumber dana yang terjangkau, tanpa tergantung pada penyertaan modal negara (PMN). Supriadinata menyatakan bahwa fokus mereka adalah mendapatkan pendanaan hijau yang sebenarnya sudah tersedia dalam jumlah yang cukup besar.

Meskipun demikian, GeoDipa tidak menutup kemungkinan untuk mencari pendanaan dari pasar melalui penawaran umum perdana (IPO) sebagai opsi terakhir. “Kami akan mempertimbangkan IPO jika memang tidak ada opsi lain,” pungkasnya.