Site icon Seputar Energi

Peringatan keras! Para Ahli Mendadak Ingatkan Cadangan Nikel RI Sekarat, Ternyata Ini Penyebabnya

Seputarenergi – Indonesia, salah satu produsen nikel terbesar di dunia, saat ini menghadapi tantangan serius terkait masa depan smelter nikel. Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association, IMA) dan para ahli pertambangan telah mengeluarkan peringatan keras mengenai penipisan cadangan nikel dalam negeri dan perlunya pembatasan pembangunan smelter kelas satu.

Direktur Eksekutif IMA, Djoko Widajatno, menyoroti fakta bahwa cadangan nikel Indonesia semakin menipis dan diperkirakan bisa habis dalam waktu tujuh tahun mendatang. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya jumlah smelter yang direncanakan beroperasi, yang berpotensi mempercepat penipisan cadangan tersebut.

Djoko menjelaskan bahwa dengan rencana pembangunan sebanyak 136 smelter, yang terdiri dari integrated smelter dan stand alone smelter, cadangan bijih nikel dalam negeri akan semakin cepat habis. β€œNah kalau kita lihat 132 dibanding 22 smelter yang diencanakan tentu kebutuhan bijihnya itu akan melambung 4 kali jadi 497 atau 400 juta wet ton nikel ini yang menyebabkan umurnya jadi 7 tahun,” jelas Djoko.

Namun, IMA juga melihat peluang dalam tantangan ini. Mereka mendorong pemerintah untuk memperluas industri hilirisasi nikel. Djoko menyatakan harapannya agar industri hilirisasi bisa lebih berkembang sehingga ketahanan pasokan bahan baku bisa tetap terjaga.

Meskipun demikian, terdapat beberapa kendala yang perlu diatasi dalam pembangunan industri hilirisasi. Salah satunya adalah waktu yang dibutuhkan dalam membangun industri baru, yang bisa mencapai 3 hingga 4 tahun. Sementara itu, cadangan nikel semakin menipis, mengancam kelangsungan pasokan bahan baku.

Tidak hanya IMA, Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) juga telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium pembangunan smelter nikel. Rizal Kasli, Ketua Umum Perhapi, menjelaskan bahwa cadangan bijih nikel terbagi menjadi dua jenis, yaitu nikel kadar tinggi (saprolit) dan nikel kadar rendah (limonit).

Rizal mengkhawatirkan bahwa peningkatan pembangunan smelter pirometalurgi, yang memproses bijih nikel kadar tinggi, dapat mengancam ketahanan cadangan nikel. Ia menjelaskan bahwa cadangan saprolit diperkirakan hanya akan bertahan selama 5-7 tahun lagi, dengan asumsi penyerapan bijih nikel mencapai 460 juta ton per tahun.

Dalam hal cadangan nikel kadar rendah atau limonit, Rizal lebih optimistis, menyatakan bahwa cadangan jenis bijih ini bisa bertahan hingga 33 tahun ke depan. Meskipun demikian, tantangan terus ada, dan kebijakan yang bijak perlu diambil agar masa depan smelter nikel di Indonesia tetap berkelanjutan.

Dalam menghadapi kompleksitas ini, pemerintah perlu berperan aktif dalam mengatur pembangunan smelter nikel dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tetap berkelanjutan untuk mendukung industri hilirisasi dan mengamankan pasokan bahan baku nikel dalam jangka panjang.