Seputarenergi – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menyampaikan bahwa hampir 90 persen nilai tambah dari smelter nikel Indonesia mengalir ke China. Hal ini mencakup sebagian besar laba, nilai depresiasi, dan biaya tenaga kerja yang dihasilkan dari industri smelter nikel.
Pernyataan tersebut diutarakan oleh Faisal Basri dalam podcast “Yusron Senpai” dengan judul “Silang Pendapat Hilirisasi Nikel, Untungkan China?”, yang dikutip pada Sabtu (19/8).
Faisal menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel yang cukup besar, nilai tambah dari industri smelter nikel lebih banyak dinikmati oleh pengusaha asal China. Hal ini terjadi karena mayoritas pemodal di industri nikel Indonesia berasal dari China.
“Siapa yang menikmati? Ya pengusaha, sebagian besar pengusaha smelter nikel yang belakangan datang ke Indonesia berasal dari China. Setahu saya modalnya berasal dari bank-bank China yang besar-besar itu, ada Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Bank of China,” ungkapnya.
Terkait nilai tambah, Faisal menjelaskan bahwa beberapa faktor mempengaruhi besarnya nilai tambah yang dihasilkan, selain dari modal yang kuat, ada juga kontribusi dari tenaga kerja dan lahan tempat smelter nikel beroperasi. Bahkan, ada penggunaan tenaga kerja yang diimpor dari China.
“Tenaga kerja kan harus ada dan dapat upah, nah bisa dihitung. Satu lagi, lahan. Ada lahan pabriknya, bayar sewa istilahnya. Walau punya sendiri harus dihitung sewa. Nah sewanya dalam bentuk apa? Itu kan tanah negara. Jadi sampai sekarang saya masih yakin, nilai tambahnya lari semua ke China,” paparnya.
Analisis Faisal Basri ini menggambarkan dinamika ekonomi dan investasi di sektor nikel Indonesia, khususnya terkait dengan investasi China dalam industri smelter nikel. Meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel yang melimpah, dominasi nilai tambah oleh China menunjukkan kompleksitas dalam manfaat hilirisasi nikel bagi ekonomi nasional.