Seputarenergi – Faisal Basri, seorang ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI), mengeluarkan seruan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera memperbaiki upaya hilirisasi. Ia mengimbau bahwa jika langkah ini tidak diperbaiki, program hilirisasi sebaiknya terfokus pada sektor nikel saja.
Faisal Basri menjelaskan dinamika hilirisasi nikel ala Jokowi. Ia menyoroti bahwa nilai tambah dari hilirisasi datang dari fasilitas pemurnian atau smelter. Ia menyatakan bahwa nilai tambah hilirisasi dapat dihitung dengan mengurangkan output dari input.
Output dalam hal ini mencakup produk seperti nickel pig iron (NPI), ferronickel, nickel matte, dan lainnya. Sedangkan inputnya adalah bijih nikel.
“Jadi, kesimpulannya lebih dari 90 persen dinikmati oleh negara atau perekonomian China. Ada yang bilang saya rasis, enggak ada urusannya, ini China sebagai entitas negara,” tegasnya dalam wawancara di Kantor CNN Indonesia, Jakarta Selatan, Rabu (23/8).
Ia kemudian mengutip data dari United States Geological Survey (USGS) mengenai cadangan nikel di seluruh dunia hingga tahun 2022. Menurut data ini, Indonesia dan Australia menduduki peringkat teratas dengan cadangan masing-masing sebanyak 21 juta metrik ton.
Dalam daftar tersebut, Brasil berada di peringkat berikutnya dengan 16 juta metrik ton, diikuti oleh Rusia dengan 7,5 juta metrik ton, New Caledonia dengan 7,1 juta metrik ton, dan Filipina dengan 4,8 juta metrik ton. Negara lain termasuk Kanada dengan 2,2 juta metrik ton, China dengan 2,1 juta metrik ton, serta Amerika Serikat dengan 0,37 juta metrik ton.
Namun demikian, Faisal menyoroti bahwa umur cadangan nikel Indonesia sangat singkat dibandingkan dengan negara-negara lain. Ia menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh eksploitasi nikel yang agresif di Indonesia, dengan produksi mencapai 1,6 juta metrik ton per tahun.
“Indonesia paling gila, cuma 13 tahun (umur cadangan nikel), kalau seperti yang sekarang. Ini kan smelter nambah terus, jadi bisa lebih cepat (habis). Pak Jokowi enggak peduli sama itu, dapat Rp510 triliun dengan mengeruk semakin dalam kekayaan kita. Enggak dihitung sebagai ongkos, dampak lingkungannya enggak dihitung, enggak benar,” paparnya.
Faisal membandingkan situasi ini dengan Australia yang juga memiliki cadangan 21 juta metrik ton, namun produksinya hanya 160 ribu metrik ton per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa umur cadangan nikel Australia masih bisa bertahan selama 131 tahun, menjadikannya sumber daya yang dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Di sisi lain, Faisal mengingatkan bahwa Filipina yang memiliki cadangan 4,8 juta metrik ton nikel akan habis dalam 15 tahun karena produksinya mencapai 330 ribu metrik ton per tahun. Ia menekankan bahwa nasib nikel Filipina juga sangat tergantung pada China.
“China sekarang, bijih nikelnya hampir semua impor dari Filipina. Nah, yang seperempat jadi segala macam (impor) dari Indonesia. Jadi, smelter di China ada yang tidak memindahkan atau tidak bikin fasilitas baru di Indonesia, mereka mengandalkan pada yang lain-lain,” ungkap Faisal.
Ia juga mengkritik kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh Jokowi. Menurutnya, lebih baik membiarkan keran ekspor tetap terbuka agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik.
Faisal menyoroti bahwa dengan adanya larangan ekspor saat ini, pasokan bijih nikel di pasar internasional menurun sehingga harga naik. Namun, harga di dalam negeri justru turun karena pasokan yang berlimpah.
“Larangan itu bikin kacau, bikin pasar tidak bekerja. Karena yang paling bagus buat dunia usaha adalah sinyal pasar bagaimana, ini tidak terjadi karena harga ditetapkan pemerintah dengan harga patokan mineral (HPM),” ujarnya.
“HPM menurut saya keliru sekali. Jadi, HPM itu ditetapkan berdasarkan harga timah murni 99 persen di pasar London Metal Exchange (LME) yang harganya puluhan ribu dolar AS. Masa patokan bijih nikel (kadar 1,8 persen-2 persen) pakai harga yang 99 persen? Ya itu dibikin-bikin saja,” tambah Faisal.
Ekspor Feronikel Indonesia Untungkan China
Dalam sebuah analisis mendalam, Faisal Basri, seorang ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI), mengungkapkan kritik dan tantangan terkait ekspor feronikel Indonesia serta upaya hilirisasi dalam industri ini. Ia berpendapat bahwa ekspor feronikel sebenarnya memberikan keuntungan bagi China dan bahwa Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini.
Faisal Basri pertama-tama mengkritisi ekspor feronikel yang dilakukan oleh Indonesia. Menurutnya, berdasarkan data tahun 2022, ekspor produk turunan nikel ini justru mendukung industrialisasi China.
“Feronikel itu diproduksi paling banyak, sebagian besar, hampir 100 persen (ekspor) ke China. Jadi, hampir 100 persen (96,7 persen) feronikel yang dihasilkan ‘brek’ dibawa ke China, bukan jadi bahan baku buat diolah lebih lanjut di Indonesia. Sisanya diekspor ke negara lain. Mulainya 2015 kenceng. Hilirisasi ini semua hampir diekspor ke China, tidak memperkokoh struktur industri di Indonesia,” ungkap Faisal.
Ia kemudian mengungkapkan seberapa besar dampak impor feronikel Indonesia terhadap China. Data menunjukkan bahwa 81,5 persen impor feronickel China pada tahun sebelumnya berasal dari Indonesia.
Faisal juga menyoroti fakta bahwa China memperoleh manfaat dari ekspor bahan mentah Indonesia. China tidak perlu mempertahankan pabrik feronikel yang mencemari lingkungan di dalam negeri. Sebaliknya, China mengimpor bijih nikel dengan harga murah dan bebas pajak dari Indonesia.
“Hilirisasi di Indonesia menopang industrialisasi di China. Indonesia kan ekspor ferronickel, itu keluarga HS 72. Dijual ke China, diproduksi lebih lanjut di China, diekspor ke seluruh dunia. Ekspor Indonesia ke China naik, ekspor China naik lebih kencang lagi. Itu tidak terjadi sebelumnya-sebelumnya dari 2000-an, tapi dia (China) dapat tenaga baru dari asupan Indonesia,” jelas Faisal.
Faisal Basri Menyarankan Hal ini
Untuk mengatasi masalah ini, Faisal Basri menyampaikan solusi konkretnya. Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk berperan aktif dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam upaya hilirisasi.
“Enggak ada istilah divestasi, seperti tambang Freeport, jadi negara tuh enggak bisa masuknya di mana. Kalau betul-betul strategis buat industri masa depan dan sebagainya, tolong dibuka celah agar publik ini ada di situ (hilirisasi),” saran Faisal.
Namun, Faisal juga mengakui bahwa sebagian pemain dalam industri hilirisasi nikel Indonesia saat ini belum memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Oleh karena itu, ia menyarankan adanya audit terhadap berbagai aspek termasuk tax holiday dan aspek ketenagakerjaan.
“Itu yang bisa mengubah nasib kita dan ini harus cepat karena 13 tahun lagi habis (cadangan nikel)… Sudah jelas begini, jangan lagi buat kebijakan merembet ke bauksit dan ke mana-mana dengan cara kontroversial seperti ini, cukup nikel,” pungkas Faisal.