Seputarenergi – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih telah mengecam rencana untuk memasukkan sumber energi fosil dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Mereka menilai bahwa RUU tersebut seharusnya hanya berfokus pada energi terbarukan dan bukan mengakomodasi energi yang masih berbasis fosil.
Dalam sebuah media briefing di Jakarta Pusat pada Jumat (22/9), Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, mengungkapkan keprihatinannya. Pasal 53 dalam draf RUU EBET versi Juni 2022 mengatur bahwa harga energi baru harus mempertimbangkan nilai ekonomi, yang juga mencakup manfaat kesehatan.
Namun, Fajri menjelaskan bahwa penggunaan energi baru yang bersumber dari bahan bakar fosil memiliki dampak buruk pada kesehatan jangka panjang melalui penurunan kualitas udara. Meskipun regulasi ini penting untuk mencegah polusi udara di masa mendatang, menurut Koalisi ini, RUU EBET bisa memainkan peran yang lebih signifikan dalam menjaga kualitas udara yang sehat di Indonesia.
Mereka berpendapat bahwa RUU EBET dapat menjadi payung hukum yang efektif untuk mempromosikan energi bersih, terutama karena salah satu penyumbang polusi udara adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, seperti batu bara.
Selain manfaat kesehatan, draf RUU EBET juga memasukkan pertimbangan penting lainnya terkait penggunaan sumber energi, termasuk biaya investasi, manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat penurunan emisi gas rumah kaca.
Meskipun begitu, Koalisi ini berpendapat bahwa pertimbangan ini bertentangan dengan pemilihan sumber energi yang masih mengandalkan energi fosil sebagai energi baru.
Menurut Dosen Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran, Yulinda Adharani, RUU EBET yang saat ini sedang dibahas oleh DPR bersama pemerintah masih jauh dari tujuan awalnya, yaitu mendorong transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan. Ia mencatat bahwa RUU EBET tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil.
Ia juga merekomendasikan pembentukan lembaga atau badan khusus yang berperan dalam mengelola energi terbarukan serta penguatan peran pemerintah daerah dan partisipasi publik dalam pengelolaan energi terbarukan.
Sementara itu, Ketua BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI), Naufal Ammar Motota, menyatakan bahwa komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan masih belum sejalan. Meskipun pemerintah berkomitmen untuk mencapai minimal 23 persen energi terbarukan pada 2025, hingga 2022, andil energi terbarukan di Indonesia masih hanya mencapai 14,11 persen dibandingkan dengan batu bara yang mencapai lebih dari 67 persen dari total energi nasional.
Menurut Ammar, pemerintah dan DPR perlu mencari solusi jangka panjang untuk persoalan polusi udara, emisi gas rumah kaca, dan dampak lingkungan. Salah satu langkahnya adalah dengan mengatur secara jelas dan kuat penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan.
“Saat ini kita sudah melihat dampak buruk penggunaan pembangkit batu bara dengan banyaknya masyarakat yang terdampak akibat polusi udara, dan sejauh ini tidak ada langkah solutif yang ditawarkan. Kami mahasiswa akan bergerak memaksa pemangku kebijakan untuk mengambil langkah yang dibutuhkan,” ujarnya.