Seputarenergi – Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tengah mempertimbangkan pembatasan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel kelas dua. Fokus utama pembatasan adalah pada smelter yang memproduksi Nickel Pig Iron (NPI) dan Fero Nikel (FeNi). Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengungkapkan bahwa sejumlah proyek smelter nikel kelas dua telah masuk dalam daftar pembatasan.
“Beberapa sudah ada, kemarin ada rapat dengan Presiden yang untuk beberapa program PSN kita ada dua smelter yang insya allah bisa selesai di tahun depan,” kata Dadan di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (6/10/2023).
Pernyataan ini muncul setelah rapat dengan Presiden, di mana beberapa program pengembangan smelter nikel kelas dua, yang diharapkan akan selesai pada tahun depan, dibahas. Hal ini mencerminkan perhatian serius pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya nikel, yang sangat penting dalam industri baterai untuk kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Namun, pembatasan ini tidak terjadi begitu saja. Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, mengungkapkan bahwa keputusan pembatasan smelter nikel kelas dua memerlukan data yang komprehensif. Pertimbangan melibatkan berbagai faktor, termasuk ketersediaan sumber daya, jumlah cadangan, dan kapasitas smelter.
“Mulai dari sumber daya, jumlah cadangan, serapan smelternya. Sebagai contoh misalnya sekarang ini kalau kita lihat NPI ditambah Fero Nikel itu kalau dijumlah keduanya kan gila-gilan itu, kalau semuanya terjadi,” kata dia dalam diskusi Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba, Rabu (8/3/2023).
Irwandy memberikan contoh bahwa hanya untuk memproduksi NPI, diperlukan 160 juta ton bijih nikel. Namun, jika semua smelter kelas dua yang direncanakan dibangun, kebutuhan bijih nikel bisa mencapai sekitar 450 juta ton. Hal ini akan memiliki dampak signifikan pada cadangan nikel Indonesia, yang saat ini mencapai 5,2 miliar ton.
Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sebelumnya telah menyoroti kebutuhan akan pembatasan pembangunan smelter nikel kelas dua, terutama untuk produk NPI dan FeNi. CEO IMIP, Alexander Barus, menegaskan bahwa fasilitas untuk memproduksi stainless steel, yang merupakan produk turunan dari NPI dan FeNi, masih kurang di Indonesia. Akibatnya, sebagian besar produksi NPI dan FeNi tidak dapat diserap dalam negeri.
“Fasilitas untuk pembuatan stainless steel ini saat ini masih terbatas dalam negeri, intinya semua produk Fero Nikel dan Nickel Pig Iron itu belum dapat diserap dalam negeri,” ungkapnya dikutip dari CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Kamis (26/1/2023).
Alexander juga mencatat bahwa Indonesia saat ini masih dalam tahap hilirisasi dalam industri nikel dan belum mencapai tahap industrialisasi yang lebih lanjut. Oleh karena itu, dia mengusulkan perlunya moratorium untuk pembangunan smelter nikel kelas dua.
Keputusan pemerintah terkait pembatasan smelter nikel kelas dua akan memiliki dampak besar pada industri nikel Indonesia dan industri yang bergantung pada nikel, seperti produksi baterai dan energi terbarukan. Dalam proses pengambilan keputusan ini, penting untuk menemukan keseimbangan antara pertumbuhan industri dan keberlanjutan sumber daya alam.