Seputarenergi – Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa investasi sektor energi baru terbarukan (EBT) dari Cina merupakan peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan pendanaan transisi energi. Namun, Bhima menekankan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh Indonesia.
“Pertama, safeguard soal lingkungan dan dampak sosial. Sebab, standar environment, social, and corporate governance (ESG) Cina lebih rendah dibanding negara-negara maju,” ujar Bhima
Kedua, Bhima menyarankan agar pembiayaan harus murah dan transparan agar tidak terjadi masalah seperti yang terjadi pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. “Yang tadinya B2B (business to business) tapi di tengah jalan berubah pakai jaminan APBN,” jelas Bhima.
Ketiga, Bhima menyarankan agar investasi sektor EBT dari Cina harus didorong untuk masuk ke smelter-smelter nikel yang sudah ada di Indonesia. “Investasi EBT bisa untuk mengganti PLTU batu bara-nya,” tambahnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi berhasil mengantongi investasi senilai US$ 12,6 miliar atau sekitar Rp 197 triliun dari Cina untuk pengembangan industri baterai listrik, energi hijau, dan teknologi kesehatan di Indonesia. Bhima menilai ini sebagai momentum bagi kerja sama Indonesia-Cina, terutama mengingat Cina selama ini cenderung berinvestasi di sektor non-EBT.
Di sisi lain, Indonesia membutuhkan dana besar untuk proyek transisi energi menuju net zero emission (NZE) pada 2060. Oleh karena itu, investasi dari Cina dapat menjadi alternatif pendanaan transisi energi bagi Indonesia.
“Keunggulan Cina juga, keputusan investasinya cepat,” pungkas Bhima.