Seputarenergi – Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmennya dalam mengontrol pembangunan smelter nikel kelas II baru melalui penghentian penerbitan izin baru. Kebijakan ini diambil untuk memastikan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bijih nikel di dalam negeri.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif, mengatakan dalam siaran pers pada Sabtu (21/10) bahwa, “Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi izin untuk pembangunan smelter jenis untuk proses Pyrometalurgi untuk nikel kelas II.”
Dalam penjelasannya, Irwandy juga mengungkapkan data terkait dengan industri smelter nikel di Indonesia. Saat ini, terdapat 44 smelter yang memproses nikel menjadi stainless steel melalui proses pyrometalurgi dan 3 smelter yang memproses nikel untuk baterai melalui proses hydrometalurgi. Untuk memenuhi kebutuhan industri tersebut, diperlukan pasokan bijih nikel sebesar 210 juta ton per tahun dari jenis saprolite dan 23,5 juta ton per tahun dari jenis limonite.
Selain itu, terdapat 25 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dengan kebutuhan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sementara itu, ada 6 smelter yang sedang dibangun untuk proses baterai hydrometalurgi dengan kebutuhan bijih nikel sebesar 34 juta ton per tahun.
Dalam merumuskan kebijakan pembatasan ini, pemerintah akan melakukan kajian komprehensif terhadap proses nikel yang ada di Indonesia, termasuk nikel berkadar rendah (limonite) dan nikel berkadar tinggi (saprolite).