Konglomerat Bersaing Masuk Bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT)

0
285

Seputarenergi – Beberapa konglomerat di Indonesia semakin bersaing untuk merambah bisnis energi baru terbarukan (EBT), menunjukkan minat mereka melalui eksplorasi berbagai bentuk pembangkit, termasuk pabrik panel surya. Sinarmas, sebagai contoh, melalui PT Daya Sukses Makmur Selaras, anak perusahaan dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk dan PT Agra Surya Energi, menjajaki kerjasama dengan Trina Solar untuk membangun pabrik manufaktur sel surya dan modul surya terintegrasi pertama di Indonesia.

“Di bawah naungan PT Trina Mas Agra Indonesia, akan dibangun pabrik berkapasitas 1 gigawatt peak per tahun pada tahap awal dengan nilai investasi lebih dari US$ 100 juta,” kata sumber.

Sementara itu, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) semakin agresif dalam menjajaki pembangkit energi baru terbarukan, termasuk panas bumi, angin, dan surya. Perusahaan-perusahaan konglomerat lainnya seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) juga terlibat dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Menurut Putra Adhiguna, Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), pengusaha besar tertarik memasuki bisnis EBT karena dorongan dari transisi hijau dan tekanan dari investor serta perbankan yang menuntut kejelasan rencana transisi ke depan.

“Prospek di Indonesia mulai terbangun, namun kesempatan yang ada masih relatif terbatas utamanya karena keterkaitan erat antara sektor kelistrikan dan sulitnya posisi PLN untuk membuka kesempatan proyek energi terbarukan dalam skala besar,” ujarnya.

Putra menambahkan bahwa keikutsertaan perusahaan-perusahaan besar dalam industri panas bumi dapat memberikan dampak positif pada masa transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE). Surya Darma dari International Geothermal Association (IGA) juga melihat partisipasi ini sebagai langkah positif, terutama keikutsertaan perusahaan seperti Pertamina yang menjadi pionir pengembangan panas bumi di Indonesia.

Meskipun beberapa perusahaan, seperti Astra Group yang berbasis kelapa sawit, mungkin memiliki tantangan tersendiri, keikutsertaan mereka dapat menjadi magnet bagi perusahaan lainnya.

“Bisnis panas bumi sangat beresiko dibandingkan agro industri maupun otomotif. Tetapi perlu disambut gembira agar di masa depan pengembangan panas bumi akan semakin intensif,” tandasnya.

Dalam sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa penggunaan energi surya di Indonesia dapat terus tumbuh karena PLTS adalah pilihan utama untuk dekarbonisasi.

“Dalam 5 tahun terakhir kapasitas PLTS secara global tumbuh pesat, di luar perkiraan pada analis dan perencana energi,” ujarnya.

Dia menekankan bahwa PLTS adalah pilihan teknologi yang paling rasional bagi Indonesia untuk mencapai dekarbonisasi pada 2060 atau lebih awal, mengingat ketersediaan sumber daya dan biaya yang semakin terjangkau. Dengan potensi ini, perusahaan-perusahaan besar, baik lokal maupun internasional, semakin serius dalam mengembangkan bisnis PLTS di Indonesia.

Direktur Utama MEDC, Hilmi Panigoro, mengungkapkan bahwa meskipun biaya operasional energi hijau pada awalnya cukup besar, dalam jangka panjang, sumber energi berkelanjutan dapat menjadi lebih efisien.

“Jadi mungkin capex tinggi dulu setelah beberapa tahun akan turun jauh sekali dan dalam jangka panjang bisa berjalan,” terangnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here