Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yus Widjajanto, menegaskan bahwa keberadaan etanol sekitar 3,5 persen pada Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina masih berada pada level aman. Menurutnya, angka tersebut seharusnya tidak menjadi alasan bagi SPBU swasta untuk menolak membeli BBM dari Pertamina.
Tri menjelaskan bahwa kadar etanol tersebut masih mengikuti standar internasional. Ia memaparkan, energi yang dihasilkan etanol memang lebih rendah dibandingkan bensin — etanol berada pada kisaran 26,8–29,7 MJ/kg, sementara bensin sekitar 40 MJ/kg. Namun perbedaan itu tidak memberikan dampak signifikan terhadap performa kendaraan.
“Dengan kandungan etanol hanya 3,5 persen, penurunan energi maksimal sekitar 1 persen. Efeknya sangat kecil, tenaga mesin hampir tidak berubah, konsumsi bahan bakar tetap normal, dan tarikan juga tidak terasa berbeda,” ujarnya, Selasa (7/10).
Tri menambahkan, standar internasional menyebutkan penurunan performa baru bisa dirasakan pengendara apabila daya turun hingga 2 persen. Dengan demikian, penurunan hanya 1 persen tidak akan mempengaruhi konsumsi BBM maupun kualitas akselerasi kendaraan.
Selain itu, etanol memiliki nilai Research Octane Number (RON) yang tinggi, yakni antara 110–120. Campuran etanol 3,5 persen dalam bensin bahkan dapat meningkatkan RON sebesar 3,85–4,2 poin, yang secara teori membuat BBM lebih efisien saat dibakar di mesin.
Ia juga menegaskan bahwa kadar etanol di BBM Pertamina masih jauh di bawah batas umum di banyak negara. Di Amerika Serikat campuran etanol dalam bensin mencapai 10 persen, sementara di Brasil bisa mencapai 85 persen. “Shell di Amerika juga menjual bensin dengan campuran etanol 10 persen dan tidak ada masalah pada kendaraan. Brasil malah jauh lebih tinggi, Australia pun sudah mengadopsinya,” jelasnya.
Tri menilai alasan SPBU swasta terkait kandungan etanol bukan faktor teknis, melainkan langkah untuk menekan pemerintah agar kembali membuka kuota impor BBM bagi mereka.
Pakar ITERA: Etanol Justru Bikin Emisi Lebih Bersih
Dosen Rekayasa Minyak dan Gas ITERA, Muhammad Rifqi Dwi Septian, memberikan pandangan serupa. Menurutnya, etanol justru membawa manfaat bagi lingkungan karena proses pembakaran menjadi lebih sempurna berkat kandungan oksigennya yang tinggi.
“Dengan pembakaran yang lebih lengkap, emisi karbon monoksida dan hidrokarbon yang tidak terbakar dapat menurun. Dampaknya, udara menjadi lebih bersih,” kata Rifqi.
Rifqi juga menyebut etanol mampu meningkatkan RON bahan bakar hingga berada di level 108–113, membuat proses pembakaran semakin efisien dan menguntungkan performa kendaraan.
Terkait kekhawatiran etanol dapat menyebabkan karat atau merusak mesin, Rifqi menilai hal tersebut berlebihan. Selama proses produksi mengikuti standar dan penyimpanan dilakukan dengan benar, risiko gangguan pada mesin sangat kecil.








