Sektor penerbangan dunia menyumbang lebih dari 800 juta ton CO₂ pada 2022, setara dengan sekitar 2% dari keseluruhan emisi global. Meskipun porsi tersebut tidak sebesar sektor lainnya, emisi penerbangan menjadi salah satu yang paling sulit diturunkan hingga nol. Elektrifikasi pesawat, misalnya, jauh lebih rumit dibandingkan transformasi bus berbahan bakar bensin ke bus listrik karena kebutuhan energi penerbangan sangat tinggi. Penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar juga tidak sederhana mengingat kompleksitas teknis dan biaya yang mahal.
Bagi Indonesia, upaya dekarbonisasi penerbangan menjadi semakin mendesak. Sebab, pada 2019, Indonesia menempati peringkat tujuh dunia dalam hal emisi penerbangan domestik—menyentuh angka lebih dari 8 juta ton CO₂. Upaya yang dapat ditempuh untuk menurunkan emisi ini adalah meningkatkan produksi dan pemanfaatan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) atau avtur berkelanjutan.
Mengapa Avtur Berkelanjutan?
Avtur berbasis nonfosil mampu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80% bila dibandingkan dengan avtur fosil. Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), bahan bakar berkelanjutan berkontribusi hingga 65% terhadap total pengurangan emisi yang dibutuhkan sektor penerbangan untuk mencapai target nol emisi bersih (net-zero emissions) pada 2050.
Potensi Indonesia
Indonesia memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan bahan baku dan kapasitas produksi bahan bakar nabati (BBN). Dengan kapasitas produksi BBN yang dilaporkan mencapai 108,22 TWh, potensi Indonesia dalam menyediakan avtur berkelanjutan tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga berpeluang menembus pasar ekspor di kawasan Asia-Pasifik.
Dorongan kuat terhadap ekosistem produksi biomassa juga sejalan dengan rencana besar pemerintahan mendatang yang menitikberatkan pada energi hijau. Oleh karena itu, mengembangkan avtur berkelanjutan menjadi peluang strategis untuk memperkuat ketahanan energi, mengurangi impor minyak mentah, serta memacu pertumbuhan ekonomi hijau.
Langkah Awal: Bioavtur J2.4
Indonesia sebenarnya telah memulai proses produksi avtur ramah lingkungan. PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) sukses menghasilkan Bioavtur J2.4—campuran 2,4% bahan baku turunan kelapa sawit pada avtur fosil—di Kilang Cilacap sejak 2021. Prosesnya melibatkan riset bersama Pertamina Research and Technology Innovation (RTI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 2010.
Selain memproduksi, PT Pertamina bersama PT Garuda Indonesia telah melakukan uji terbang Bioavtur J2.4 pada rute Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Adi Soemarmo dan kembali. Hasil uji menunjukkan kinerja Bioavtur J2.4 setara dengan avtur fosil.
KPI juga merencanakan pembangunan fasilitas produksi avtur berkelanjutan berbahan baku minyak jelantah di Kilang Cilacap, yang diharapkan beroperasi pada 2026. Proyek berikutnya akan dibangun di Kilang Plaju dan Sungai Gerong, Sumatra Selatan, ditargetkan beroperasi mulai 2027 dengan kapasitas produksi 20 ribu barel bahan bakar terbarukan (bensin, avtur, dan diesel) per hari.
Tiga Strategi Utama
- Memprioritaskan Bahan Baku Berkelanjutan
Fokus utama sebaiknya ditujukan pada pemanfaatan limbah seperti minyak jelantah, residu pertanian, sampah makanan, dan limbah kehutanan yang mampu meminimalkan konflik penggunaan lahan (food vs. fuel). Pengalihan bahan baku dari tanaman pangan (sawit, jagung, atau singkong) ke limbah akan membantu mengurangi emisi dari sektor limbah sekaligus menekan risiko kenaikan harga pangan. - Meningkatkan Kualitas dan Proporsi Campuran
Konsentrasi avtur berkelanjutan dalam Bioavtur J2.4 masih relatif rendah. Secara teknis, rasio pencampuran avtur terbarukan dapat diperluas hingga 50%. Pertamina RTI dapat menjalin kemitraan dengan penyedia teknologi global, misalnya Neste (Finlandia), LanzaJet (AS), atau Thyssenkrupp (Jerman), untuk mempercepat peningkatan rasio campuran.
Di sisi pengguna, kerja sama dengan produsen pesawat (Boeing, Airbus) dan mesin pesawat (General Electric, Rolls-Royce, Pratt & Whitney) perlu digalakkan guna memastikan keandalan dan keselamatan penerbangan. Hal ini juga menjadi langkah awal untuk mencapai penggunaan avtur berkelanjutan 100% di masa depan. - Menciptakan Iklim Investasi yang Kondusif
Pengembangan fasilitas produksi avtur berkelanjutan di berbagai wilayah menuntut pendanaan besar serta transfer teknologi. Pemerintah dapat menawarkan insentif pajak atau subsidi, sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat yang memberikan tunjangan US$1,25–1,75 per galon avtur berkelanjutan.
Model kolaborasi dengan perusahaan teknologi SAF, seperti yang dilakukan Singapura dengan Neste, bisa diterapkan di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mendapatkan produk akhir, tetapi juga kesempatan transfer pengetahuan dan peningkatan kapasitas industri dalam negeri.
Dampak Ganda Bagi Indonesia
Selain menekan emisi penerbangan, pengembangan avtur berkelanjutan akan mendukung terciptanya ekonomi hijau baru, membuka lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor minyak mentah. Bagi sektor penerbangan itu sendiri, memanfaatkan SAF tidak memerlukan perubahan infrastruktur maupun desain pesawat secara besar-besaran, sehingga biaya transisi bisa ditekan.
Kombinasi dari tiga strategi di atas membawa Indonesia berpotensi menjadi produsen utama avtur berkelanjutan di Asia-Pasifik, seiring dengan pertumbuhan permintaan global. Jika dikelola dengan tepat dan mendapat dukungan kebijakan memadai, avtur berbasis limbah dan biomassa dapat menjadi solusi praktis untuk menurunkan emisi penerbangan sambil mempertahankan daya saing industri nasional.