Terkuak! Ternyata Ini Hambatan Pemanfaatan EBT di Indonesia

0
1043

 Semakin berkurangnya sumber energi fosil membuat pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) mulai menjadi pembahasan penting. Energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara dapat habis. Sementara EBT akan terus diperbarui dan punya sisi berkelanjutan.

Indonesia sendiri telah berkomitmen mengedepankan EBT dalam bauran energi nasional dibanding energi fosil. Itu tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional yang menyebutkan pada 2025 Indonesia akan mencapai bauran EBT sebesar 23 persen.

Persentase ini merupakan ‘sasaran antara’ yang penting dicapai sebelum menuju ‘sasaran sesungguhnya’, yakni EBT 31 persen pada 2050. Sayangnya sejauh ini (2020) realisasi EBT masih sebesar 11,2 persen.

Jangankan untuk bicara 2050, untuk mengejar target 2025 saja rasanya masih cukup jauh. Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr. Surya Darma mengatakan Indonesia masih amat bergantung pada energi fosil. Porsi EBT 2020 masih kalah jauh dibanding energi lain di antaranya gas bumi 19,16 persen, minyak bumi 31,60 persen, dan batu bara 38,04 persen.

“Selama ini kita lihat pergerakan dari energi fosil ke energi terbarukan sangat lambat. Tentu saja yang jadi persoalan adalah karena pengembangan EBT membutuhkan waktu panjang. Bahkan mestinya dengan skala yang lebih besar dibanding saat ini.” Surya Darma dalam keterangan pers, Sabtu (8/5/2021).

Surya Darma juga menyitir ucapan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, semestinya target EBT 31 persen pada 2050 bisa direalisasikan lebih cepat yakni pada 2045. Hal itu agar sesuai dengan visi Indonesia emas memperingati 100 tahun kemerdekaan republik.

Namun, dia menganggap masih perlu usaha keras untuk menuju ke sana. Sekurang-kurangnya, perlu ada upaya untuk mengurangi hambatan masuk ke pasar (market entry barriers) bagi produk-produk berbasis EBT.

Hambatan pasar itu, menurut Surya, di antaranya masih kuatnya kepentingan ekonomi terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik. Hal itu didukung dengan masih digelontorannya subsidi bagi energi fosil.

Adapun hambatan lain yakni kebijakan tarif listrik serta ongkos EBT yang masih kurang kompetitif.

“Aspek-aspek ini memang harus dihilangkan kalau energi terbarukan ingin dikembangkan,” katanya.

Hambatan lain dari pengembangan EBT, kata Surya Darma, belum konklusifnya harga ekonomis dari produk berbasis EBT. Untuk menentukan harga ekonomis tidak mudah, karena bergantung pada banyak sekali aspek, di antaranya: jenis teknologi EBT apa yang dipakai, bagaimana infrastruktur penunjangnya, berapa investasinya, bagaimana kebijakan fiskalnya, dan termasuk bagaimana dukungan pemerintah pusat dan pemda dalam pengembangan EBT.

Menurutnya, harga ekonomis penting dirumuskan dengan baik sebelum pemerintah mendorong EBT agar dapat dimanfaatkan besar-besaran di tengah masyarakat.

Jika harga ekonomis sudah ditetapkan, lanjutnya, maka pemerintah akan lebih mudah menentukan berapa harga jual sebuah produk energi terbarukan. Harga jual di sini didapatkan dari harga ekonomi dikurangi stimulus dikurangi subsidi (Harga Jual = Harga Ekonomi – Stimulus – Subsisi).

“Jika stimulus dan subsidi tidak ada, maka harga jual akan sama dengan harga ekonomi, dan hal ini akan dirasakan berat oleh konsumen dan berdampak pada perekonomian. Apalagi kemampuan konsumen kita masih rendah” Kata Surya Darma.

Lebih lanjut, jika subsidi tidak ada, maka harga jual akan sama dengan harga ekonomi dikurangi stimulus. Dan jika stimulus tidak ada, maka harga jual sama dengan harga ekonomi dikurangi subsidi, yang mana ini akan memberatkan APBN.
Menurutnya, aspek paling utama untuk menggenjot pemanfaatan EBT terletak pada stimulus fiskal. Secara sederhana, harga jual akan rendah jika stimulus diperbesar.

“Di sinilah fungsi stimulus fiskal menjadi sangat penting untuk menurunkan harga jual kepada masyarakat. Akan tercapai affordable price, walaupun ini masih bisa diperdebatkan,” kata Surya Darma.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here