Seputarenergi.com- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan tetap konsisten menyuplai CPO untuk kebutuhan B30 di dalam negeri. GAPKI pun memprediksi, ke depan, ada kemungkinan suplai pasokan sawit untuk program biodiesel meningkat, khususnya saat proporsi sawit dinaikkan menjadi 40 persen alias B40.
“Saat ini, jumlah pasokan CPO yang dapat disuplai oleh GAPKI mencapai 9,3 juta ton,” kata Sekretaris Jenderal GAPKI Eddy Martono Eddy di Jakarta, Selasa 30 Agustus.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, saat ini Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang sudah mencampurkan energi terbarukan ke dalam minyak solar mencapai 30 persen atau B30. Negara-negara lain seperti Argentina, Brazil, hingga Amerika Serikat masing-masing baru memasuki skema B10, B12, dan B20.
Catatan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, realisasi penyaluran B30 hingga 27 Agustus 2022 mencapai 6,4 juta kiloliter (kl), naik 63 persen dari alokasi sebesar 10,15 juta kl.
GAPKI menguraikan, pihaknya terbuka terhadap peninjauan dari semua pihak, khususnya untuk kenaikan blending sawit secara saksama. Pasalnya, program tersebut akan berdampak kepada produk turunan sawit lainnya. Terutama antara produksi dengan kebutuhan pangan lokal, kebutuhan non-pangan lokal, dan energi.
“Supaya tidak terjadi kebutuhan pangan, saling bersaing dengan non pangan dan energi,” ujarnya.
Untuk mempertahankan pasokan ke depan, Eddy menyarankan berbagai pihak terkait turut berupaya meningkatkan produktivitas kebun masyarakat, di antaranya lewat replanting atau peremajaan.
“Sebab penanaman kebun masyarakat yang lalu banyak terkontaminasi bibit palsu, sehingga produktivitas rendah. Di samping itu, tanaman (sawit) memang secara umur sudah saatnya diremajakan,” sebutnya.
Di kesempatan terpisah, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta, Senin 29 Agustus mengatakan, saat ini ada beberapa tantangan di dalam pengembangan biodiesel di Indonesia.
Tantangan-tantangan tersebut adalah, insentif untuk menutup selisih harga indeks pasar (HIP) BBM dengan HIP Biodiesel yang masih bergantung kepada pungutan dana ekspor. Tantangan lain adalah fluktuasi harga minyak sawit (CPO) dan minyak dunia, serta harga minyak bumi yang rendah dan harga CPO yang tinggi.
Hal ini menyebabkan disparitas HIP antara harga bahan bakar nabati (BBN) dan BBM membesar.
“Beberapa bahan pendukung produksi Biodiesel masih bergantung impor,” imbuh Dadan.
Selain itu, besarnya komponen teknologi yang berasal dari luar negeri, membuat tingkat inflasi bisa sangat mempengaruhi nilai investasi. Belum lagi, masih ada keterbatasan infrastruktur pada beberapa wilayah.
Contohnya keterbatasan tangki penyimpanan pada titik serah terminal bahan bakar minyak (TBBM), fasilitas Jetty. Lalu, ketersediaan kapal yang memenuhi syarat pengangkutan fatty acid methyl esther/ester metil asam lemak atau FAME.
Dadan juga menyatakan, diversifikasi bahan baku sebagai bahan produksi BBN pengganti solar (green diesel), masih memerlukan waktu untuk pengembangannya.
“Perlunya meningkatkan wawasan masyarakat, melalui sosialisasi terkait BBN terutama Biodiesel. Apalagi adanya kampanye negatif dari pasar luar yang menyebabkan kesulitan untuk mengekspor produk Biodiesel Indonesia,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, seiring dukungan kebijakan pemerintah, konsumsi biodiesel mempunyai tren positif dalam satu dasawarsa terakhir. Sedangkan produksi biodiesel mengalami pertumbuhan pesat dalam 16 tahun terakhir.
“Total kapasitas produksi terpasang mencapai 16,6 juta kiloliter sampai 2021,” ujar Paulus.
Masih berdasarkan data Aprobi dalam dua tahun terakhir, penyaluran B30 berhasil mencapai 8,43 juta kiloliter di 2020. Kemudian mencapai 8,44 juta kiloliter sepanjang 2021.
Pada 2022, Paulus memperkirakan, alokasi penyaluran B30 bakal mencapai 10,15 juta kiloliter. Penggunaan minyak sawit untuk biodiesel ditaksir sebesar 15 persen dari total produksi sawit nasional yang mencapai 48,09 juta ton pada 2021.
Memasuki 2022, pemakaian minyak sawit untuk biodiesel diprediksi menjadi 17 persen. Sebagian besar konsumsi sawit di dalam negeri, digunakan untuk kebutuhan makan terutama minyak goreng.
“Biodiesel menjadi bagian untuk mempercepat program transisi energi nasional. Pengembangan energi berbasis sawit terus berjalan seperti biohidrokarbon. Dari pengembangan biohidrokarbon dapat menghasilkan gasoline dan bahan bakar pesawat terbang berbasis sawit,” ujarnya.
Pemanfaatan biodiesel juga efektif meningkatkan serapan sawit domestik ketika terjadi pelemahan permintaan di pasar global. Paulus mengatakan, penggunaan biodiesel membantu peningkatan kesejahteraan petani, setelah adanya keseimbangan antara konsumsi dan ekspor.
Dampak positifnya, terjadi stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani di dalam negeri. Bahkan, semenjak 2021 hingga Maret 2022, harga TBS petani rerata di atas Rp3.000/kg.
“Tidak benar kalau dikatakan biodiesel menguntungkan korporasi. Di lapangan, program ini juga menopang kenaikan harga buah sawit petani,” ujarnya.