Di Indonesia, energi dan lingkungan merupakan dua sektor yang kerap berlawanan. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan energi tetapi pemenuhan kebutuhan energi yang masih didominasi energi berbasis fosil menyebabkan peningkatan jumlah emisi setiap tahunnya yang berakibat buruk terhadap lingkungan dan kesehatan. Karena itu, dalam menjalankan roda perekonomian yang berkesinambunan diperlukan energi yang ramah lingkungan.
Menurut laporan International Energy Agency, emisi gas rumah kaca global mengalami peningkatan sebesar 3% per tahun dengan porsi terbesar berasal dari sektor kelistrikan (50%) dan sektor transportasi (22%). Karena itu, para pemimpin dunia membuat komitmen bersama melalui Paris Agreement (2015) untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca global. Indonesia pun melalui Paris Agreement sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional.
Pada 2018 lalu, penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah sektor transportasi, kelistrikan, dan industri dengan pangsa masing-masing 33,6%, 36,2% dan 22,4% atau setara dengan masing-masing 167 juta ton CO2 untuk sektor transportasi, 180,38 juta ton CO2 untuk kelistrikan dan 111,82 juta ton CO2 untuk sektor industri. Besarnya angka ini khususnya di sektor transportasi perlu ditanggulangi dengan meningkatkan kualitas bahan bakar, khususnya bensin. Dengan meningkatkan Research Octane Number (RON) pada bensin yang digunakan akan meningkatkan efisiensi mesin, mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi gas rumah kaca.
Secara global, dampak positif dari pelaksanaan kebijakan pembatasan saat pandemi Covid-19 ini adalah membaiknya kualitas udara di berbagai belahan dunia. Pengamatan oleh Badan Antariksa Eropa membuktikan bahwa terjadi penurunan sekitar 40% emisi nitrogen dioksida (NO2) melalui pengamatan pada September 2019 hingga Maret 2020. Hal serupa terjadi di wilayah Eropa. Jurnal Nature Climate Change menunjukan perbaikan kualitas udara juga berasal dari penurunan emisi CO2 harian dunia sebesar 17% pada awal April 2020 dibandingkan dengan waktu yang sama 2019.
Dari penelitian dari Center for Research on Energy and Clean Air, secara rata-rata 38.000 penduduk Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat infeksi saluran pernafasan bawah. Namun diperkirakan 3.000—6.000 kematian dapat dihindari dengan peningkatan kualitas udara yang bersih. Seiring dengan pemberlakuan program pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk d memutus rantai penyebaran virus Covid-19, tingkat emisi di Indonesia pun turun signifikan. Sejak 12 Maret 2020 dengan adanya kebijakan work-from-home dan selanjutnya PSBB, emisi NO2 di Jakarta tercatat menurun secara drastis sebesar 40%.
Dalam kaitan ini peran entitas penyedia energi dalam penurunan emisi menjadi sangat krusial, karena salah satu sektor penghasil emisi terbesar adalah sektor transportasi seiring dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor. Di sisi lain perkembangan teknologi kendaraan saat ini menghasilkan kinerja mesin yang lebih efisien tetapi menuntut penggunaan bahan bakar berkualitas lebih baik.
Beberapa upaya peningkatan nilai oktan telah dilakukan. Misalnya, Pertamina memperkenalkan produk Pertalite RON 90 yang kemudian diikuti oleh penyedia bahan bakar serupa di SPBU Shell, Total, dan lain-lain.
Pertalite jelas suatu peningkatan dari BBM jenis Premium dengan bilangan oktan (RON) 88 yang sudah sangat tidak lazim digunakan, kecuali oleh sejumlah kecil negara yang relatif terbelakang. Pada tingkat regional Asean, hanya Indonesia yang masih memperjualbelikan RON 88. Pertimbangan konsumen dalam memilih bahan bakar adalah performa dan dampak lingkungan. Penggunaan BBM dengan kualitas lebih baik di sektor transportasi merupakan strategi jangka pendek yang perlu dijalankan untuk membantu pencapaian target penurunan emisi.
Tentu saja hal ini harus diimbangi dengan strategi jangka panjang, seperti peralihan dari jenis BBM dengan spesifikasi Euro 2 ke Euro 4 atau bahkan Euro 5 yang sudah diatur pemerintah. Dari penelitian University of Science and Technology of China dan Brunel University London baru-baru ini mengenai pengaruh polusi udara terhadap peningkatan kematian akibat Covid-19, terungkap bahwa kenaikan pada setiap polutan PM 2,5, PM 10, NO2, dan, O3 sebesar 10-μg/m3 dan CO sebesar 1-mg/m3 meningkatkan jumlah kasus harian terinfeksi Covid-19 masing-masing sebesar 2,24%, 1,76%, 6,94%, 6%, dan 15,11%.
Wabah Covid-19 telah menjadi salah satu pertimbangan bagi para pemangku kepentingan untuk lebih memprioritaskan lingkungan dan kesehatan agar masyarakat dapat terlindungi ketika melanjutkan aktivitas perekonomian. Analisis kausalitas menunjukkan bahwa peningkataan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan konsumsi BBM. Karena itu, BBM yang bersih dan sehat akan memainkan peranan vital dalam membantu pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable.
Peningkatan penggunaan BBM yang lebih berkualitas perlu segera diimplementasikan. Bisa dilakukan bertahap untuk mempertimbangkan kesiapan pengadaan dan infrastruktur serta adaptasi lainnya. Adapun pelaksanaan dan proses transisinya perlu melibatkan berbagai stakeholders, termasuk pemerintah, entitas penyedia energi dan agen tunggal pemegang merek kendaraan bermotor agar masyarakat dan lingkungan mendapatkan manfaat dari BBM yang berkualitas.
sumber: bisnis.com