Koalisi Masyarakat serukan agar DPR fokus pada energi terbarukan

0
620

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai membahas draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dengan mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama beberapa pemangku kepentingan.

Namun dari draf RUU yang beredar, terlihat bahwa pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil masih diikutsertakan. Padahal Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk energi bersih berharap DPR akan mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari rancangan undang-undang ini.

Pada pekan kemarin (17/9), di awal masa sidang ke-5, Komisi VII DPR mulai membahas draf RUU EBT dengan mengadakan RDPU bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Pembahasan RUU ini menjadi harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim. 

Oleh karena itu, koalisi ini  menyayangkan masuknya isu nuklir dan sumber energi baru berbasis energi fosil yang tidak berkelanjutan, seperti gas metana, gasifikasi batubara, dan likuifaksi batubara,  dalam pembahasan draft RUU ini.

Koalisi ini berpandangan Komisi VII DPR  seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU dan fokus membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bioenergi, dan panas bumi, yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Dengan kerangka kebijakan ini diharapkan dapat menyiapkan Indonesia untuk lebih cepat melakukan transisi energi menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan.

Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Wira Dillon, menjelaskan isu nuklir seharusnya tidak dimasukkan karena nuklir telah dibahas secara tersendiri di dalam UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Bahkan pembahasan tentang pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukkan dalam draf RUU Cipta Kerja (Omnibus Law Atur Kebijakan Pemanfaatan Nuklir untuk Listrik).

Selain itu, di dalam Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 juga menyebutkan  bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia. 

“Nuklir memang seharusnya hanya jadi pilihan terakhir mengingat cadangan uranium kita tidak terlalu banyak. Sehingga jika Indonesia membangun PLTN justru akan mengurangi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi Indonesia kedepan. Ditambah lagi, kondisi geografis Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) menjadikan kita rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Risiko tersebut sangat berpotensi mengganggu pengoperasian PLTN maupun membahayakan sistem penyimpanan limbah nuklir,” papar dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/9). 

Oleh karena itu, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT akan berlawanan dengan azas dan tujuan dasar pembuatan RUU ini, di antaranya asas keberlanjutan, asas ketahanan, serta asas kedaulatan dan kemandirian.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menambahkan, pemerintah dan DPR seharusnya dapat mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN. Selain biaya yang sangat mahal, pembangunan PLTN membutuhkan waktu lebih lama apabila dibandingkan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan.

Ke depan harga energi terbarukan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dari batubara yang juga harus harus segera ditutup.

Fabby menambahkan, adanya isu nuklir di dalam draf RUU EBT ini seharusnya menjadi perhatian bagi para anggota DPR mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi yang menjawab ketahanan energi nasional. 

“Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter yang berbeda dari energi terbarukan, serta risiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” tegas Fabby.

Keberadaan RUU Energi Terbarukan pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan dukungan pada energi terbarukan dalam UU yang sudah ada sebelumnya, yaitu UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi. Pengalaman di sejumlah negara berkembang seperti India dan Chili telah membuktikan bahwa adanya undang-undang khusus atau kerangka regulasi yang kuat khusus untuk energi terbarukan mampu  mendorong dan mengakselerasi pembangunan energi terbarukan. 

“Untuk konteks nasional, keberadaan Undang-Undang Energi Terbarukan akan menjadi payung legislasi untuk turunan regulasi lainnya yang selama ini rentan mengalami perubahan dan preferensi menteri sektoral. Undang-undang ini akan menjadi sinyal yang positif bagi investor, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan bisnis dan industri energi terbarukan, dimana energi terbarukan memiliki playing field yang seimbang dengan energi konvensional,” jelas Manajer Program Transformasi Energi IESR Jannata Giwangkara.

Sebagai badan legislatif di tanah air, DPR dinilai mempunyai peran sangat strategis dan penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia salah satunya dengan menyukseskan transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan melalui proses pembuatan RUU Energi Terbarukan. Tidak hanya menyusun regulasi, DPR juga perlu membangun sinergi yang kuat dengan pemerintah untuk memastikan rencana dan kebijakan yang dibuat terlaksana untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia saat ini dan dimasa yang akan datang.

Dengan adanya UU Energi Terbarukan, menurut Energy Project Leader WWF Indonesia Indra Sari Wardhani, akan menjadi kerangka regulasi yang mengikat para pihak, mulai dari  pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mendukung dan memprioritaskan energi terbarukan. Undang-undang ini juga diharapkan dapat mengakomodir dukungan terkait pendanaan, pembiayaan, serta harga energi terbarukan yang menarik sehingga sektor ini  dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan. 

Koalisi ini juga mengharapkan DPR terus berkomitmen menjadi parlemen yang terbuka (open parliament) dengan menjalankan proses legislasi secara transparan dan partisipatif dengan kanal data dan informasi terkait draf RUU yang akan dibahas, serta hasil-hasil pertemuan dan pembahasan.

Dengan proses ini akan mendorong partisipasi masyarakat, meningkatkan kepercayaan publik dan mengurangi dampak spekulasi. Dengan demikian DPR akan menjadi rumah wakil rakyat yang terpercaya yang menjadi karakter sebuah negara yang demokratis dengan menjalankan tiga fungsi dasarnya yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. 

Dalam kesempatan itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk energi bersih merekomendasikan agar DPR memfokuskan RUU EBT ini menjadi RUU Energi Terbarukan untuk memaksimalkan pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari transisi energi yang berkelanjutan dan adil untuk semua.

DPR juga dapat mengeluarkan pasal-pasal yang mengatur mengenai ketenaganukliran dan energi baru berbasis fosil dari RUU EBT. Sekaligus menunjukkan political will dan keberpihakan untuk memprioritaskan pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan di Indonesia.

DPR berperan aktif untuk meningkatkan kapasitas para anggotanya dalam memahami isu pembangunan berkelanjutan khususnya perkembangan energi terbarukan dan pentingnya transisi energi berkelanjutan di Indonesia.

Selain itu, berperan aktif dan mendorong peran pemangku kepentingan lain seperti lembaga keuangan, swasta, BUMN/BUMD, pemerintah daerah serta masyarakat luas untuk mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia terakomodir dalam RUU EBT ini. Serta membuka lebih lebar ruang partisipasi dan akses informasi bagi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU EBT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here