Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih mendominasi sumber pasokan listrik nasional. Tak hanya di Indonesia, penggunaan batu bara untuk PLTU juga masih dilakukan di berbagai negara. Seiring hal itu, berbagai inovasi teknologi pun telah diterapkan guna menekan tingkat pencemaran dari proses produksi. Anggapan yang menyebut bahwa PLTU sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar, dinilai banyak kalangan tidak lagi relevan.
Dewan Energi Nasional (DEN) melalui Rencana Umum Kebijakan Energi Nasional (KEN) lewat Perpres No.22/2017, telah menetapkan bauran energi untuk batubara sebesar 30 persen di 2025 dan 25 persen di 2050.
“Bagi PLN saat ini, telah mempertegas bahwa batubara dinilai sebagai bahan bakar energi bagi pembangkit yang sangat efisien,” ujar Singgih Widagdo, Ketua Indonesia Mining and energy Forum (IMEF), Jumat (8/1).
Apalagi di dalam pemanfaataan batubara di dalam negeri, Pemerintah (ESDM) menetapkan harga batubara untuk kelistrikan kebutuhan umum, bukan didasarkan atas indeks harga batubara di pasar internasional. Di sisi lain, pemerintah telah meratifikasi Paris Agreement yang mewajibkan terjaganya iklim dengan usaha-usaha di bidang lingkungan. Juga, dia menyebut bukan hal yang mudah mendapatkan pendanaan internasional bank dalam membangun PLTU Batubara, kecuali yang dibangun dengan teknologi super crtical atau ultra super-critical. Karenanya, Singgih meyakini teknologi PLTU kini jelas ramah lingkungan.
“Dari kondisi saat ini (besarnya kebutuhan dan sistem kelistrikan yang ada), batubara tentu tetap sebagai pilihan yang strategis,” kata Singgih.