Pendanaan dan Regulasi yang Kurang Mendukung, Startup Teknologi Energi Bersih Bernasib Suram

0
308

Seputarenergi – Industri teknologi energi bersih, atau cleantech, di Indonesia mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kendala pendanaan dan iklim regulasi yang dinilai belum cukup mendukung. Hasil riset yang dirilis oleh New Energy Nexus Indonesia mengungkapkan bahwa sebagian besar startup cleantech di tanah air masih mengandalkan tabungan pribadi para pendirinya, dengan tingkat ketahanan finansial yang cenderung rendah.

Pamela Simamora, Manajer Kebijakan dan Advokasi Nexus Indonesia, mengungkapkan bahwa dari 50 startup cleantech yang disurvei, sebanyak 43 di antaranya atau 86% masih mengandalkan dana dari tabungan pribadi pendiri, dengan tingkat ketahanan keuangan kurang dari 12 bulan. Bahkan, dari 35 responden yang diwawancarai, hanya 11 startup yang mampu bertahan lebih dari 12 bulan.

“Startup cleantech banyak mengalami masalah finansial dengan kurang lebih 12 bulan, bahkan hanya enam bulan saja,” ungkap Pamela dalam diskusi publik di Nalar Live Jakarta pada Selasa (8/8).

Riset ini juga menemukan bahwa hanya satu startup cleantech, yaitu Swap Energy, yang berhasil mendapatkan pendanaan pra-seri A. Sementara itu, 49 startup cleantech lainnya masih terus berupaya mengumpulkan dana. Lebih lanjut, survei yang dilakukan oleh Nexus Indonesia terhadap 50 startup cleantech menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka masih berada pada tahap konsep dan demonstrasi (pilot). Tidak kurang dari 16% dari startup cleantech yang disurvei mengalami kegagalan di tahap pengembangan awal ini.

Penelitian juga mengungkapkan bahwa dari total 8 perusahaan modal ventura (venture capital/VC) di Indonesia, hanya 4 di antaranya yang memiliki portofolio pada startup cleantech. Keempat VC tersebut adalah East Ventures, Alpha JWC Ventures, Kejora Kapital, dan Saratoga Investama Sedaya. Dalam segmen investasi berdampak (impact investing), sektor energi bersih hanya memperoleh porsi sekitar 1% dari total investasi berdampak pada periode 2013-2020.

Namun, lebih dari itu, riset tersebut juga menemukan bahwa kurangnya dukungan regulasi dalam sektor energi menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan investor enggan berinvestasi pada startup cleantech. Salah satu contoh regulasi yang menjadi kendala adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Regulasi tersebut dianggap mempersulit proses instalasi PLTS atap di skala rumah tangga, sehingga membuat investasi di sektor ini kurang kondusif.

Pamela Simamora menjelaskan bahwa, untuk meningkatkan keterlibatan startup cleantech, Nexus Indonesia telah bersiap memberikan pendanaan hibah dengan nilai maksimal US$ 250.000 kepada startup cleantech yang dapat berkontribusi dalam percepatan transisi energi di Indonesia. Dana tersebut diharapkan dapat meningkatkan potensi riset dan pengembangan para startup cleantech, serta mendorong dampak positif sosial seperti pengurangan emisi dan akses listrik bersih di berbagai daerah, sebagaimana contohnya di Sumba.

Dengan tantangan pendanaan dan regulasi yang masih perlu diatasi, industri cleantech di Indonesia perlu kerja keras bersama dari pemerintah, lembaga finansial, dan pelaku bisnis untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan inovasi dalam sektor energi bersih.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here