Seputarenergi – Ketimpangan ekonomi terus menjadi permasalahan yang melekat di tiga provinsi utama pengoperasian industri olahan nikel, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat di wilayah-wilayah tersebut, hal itu tidak selalu berarti kesuksesan dalam hilirisasi mineral. Hal ini menjadi sorotan dalam Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel“.

“Ketimpangan bahkan bisa memburuk di tahun-tahun berikutnya ketika dampak dari eksternalitas negatif menjadi lebih nyata,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Celios.

Bhima menjelaskan bahwa dampak dari eksternalitas negatif, seperti kerusakan ekologi dan dampak kesehatan dari aktivitas pengolahan nikel, dapat membebani perekonomian daerah, sehingga kesenjangan ekonomi tidak akan teratasi secara signifikan.

“Sehingga meskipun ada langkah-langkah mitigasi, kesenjangan tidak akan dapat diatasi secara signifikan,” tambahnya.

Dia juga menyoroti tingkat ketimpangan regional yang dijelaskan melalui Indeks Williamson, yang menggambarkan ketimpangan pendapatan per kapita antar wilayah.

“Dari ketiga wilayah tersebut, indeks Williamson pada tahun pertama hingga kelima pembangunan smelter, ketimpangan berada di level 0,74-0,73 dan berada di level 0,72 pada tahun ke-15,” jelas Bhima.

Meskipun begitu, Bhima melihat adanya peluang untuk meredam ketimpangan ekonomi dengan fokus pada sektor-sektor lain, seperti sektor pertanian.

“Di Sulawesi Tengah pada tahun 2023, sektor pertanian mampu menyumbang lapangan kerja 38,85% lebih banyak dibandingkan sektor pertambangan yang hanya 2,39% dan industri pengolahan yang hanya 9,36%,” ujarnya.

Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu diiringi dengan peningkatan kesejahteraan, terutama di kawasan industri smelter nikel.

“Di Morowali, angka kemiskinan mencapai 12,58% pada tahun 2022, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki smelter,” paparnya.

Bhima menambahkan bahwa ketimpangan wilayah pertambangan ini merupakan konsekuensi dari pembangunan industri padat modal.

“Minimnya kontribusi ekonomi industri nikel di wilayah lokasi smelter dan tambang juga disebabkan karena hampir seluruh pemangku kepentingan industri dikuasai oleh perusahaan multinasional dan bank asing,” tambahnya.

Menurut Celios, masyarakat yang tinggal di kawasan pertambangan seringkali tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang adil, melainkan hanya beban atas kerugian sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *