Benarkah Minyak Sawit Bisa jadi Solusi Efektif untuk Menurunkan Emisi Karbon?

0
477

Dalam beberapa tahun terakhir, minyak sawit menjadi perbincangan hangat di Uni Eropa karena kebijakan baru mereka terkait pencegahan deforestasi. Kebijakan tersebut secara tidak langsung menjegal minyak sawit sebagai komoditas ekspor utama Indonesia. Namun, perlu ditekankan bahwa minyak sawit sebenarnya memainkan peran penting dalam upaya global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Dalam sebuah webinar yang diadakan baru-baru ini, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyampaikan bahwa kebijakan penggunaan biodiesel 30 persen (B30) telah terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari bahan bakar solar sekitar 50 hingga 60 persen. Pemerintah Indonesia kini meningkatkan program ini menjadi B35 untuk meningkatkan penggunaan minyak nabati, termasuk minyak sawit, sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.

Dalam konteks ini, Dadan menekankan bahwa penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar memiliki keunggulan yang signifikan dalam menurunkan emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya. Dalam kata lain, minyak sawit dapat mengurangi emisi hingga 62 persen dibandingkan dengan minyak diesel. Program B35 telah memperlihatkan keberhasilannya, dengan banyak perusahaan produsen yang telah mendirikan fasilitas produksi di berbagai wilayah Indonesia seperti Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Namun, manfaat minyak sawit tidak hanya terbatas pada penurunan emisi karbon. Menurut Dadan, tanaman sawit juga terbukti mampu menyerap emisi CO2 di udara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Forestry and Forest Product Research Institute, pohon sawit mampu menyerap sebanyak 25 ton CO2 per hektar per tahun, sementara pohon lain hanya mampu menyerap 6 ton CO2 per hektar per tahun. Penelitian lain bahkan menyebutkan bahwa pohon sawit bisa menyerap hingga 64,5 ton CO2 per hektar per tahun. Mengingat luas lahan sawit di Indonesia mencapai 14,38 juta hektar, dapat dihitung bahwa pohon sawit mampu menyerap sekitar 927,5 juta ton CO2.

Dalam mengatasi masalah deforestasi yang terkait dengan sejarah kelam minyak sawit, Dadan menggarisbawahi pentingnya membandingkan luasan lahan sawit dengan luasan hutan yang masih tersisa. Pemerintah mendorong pelaku usaha dan petani untuk memperoleh sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) sebagai bukti komitmen mereka terhadap praktik ramah lingkungan.

Selain itu, pemerintah juga terus mendorong pengembangan pembang

kit listrik berbasis minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan. Potensi minyak sawit sebagai bahan baku dalam produksi listrik mencapai 28.148 megawatt (MW), dan saat ini sudah terdapat pembangkit listrik dengan total kapasitas 874,57 MW yang menggunakan minyak sawit sebagai sumber energi.

Kebijakan baru Uni Eropa, EU Deforestation Regulation (EUDR), yang berfokus pada pencegahan deforestasi, tentu memiliki dampak pada sejumlah komoditas ekspor Indonesia seperti minyak sawit, kopi, sapi, kayu, kakao, karet, dan kedelai. Namun, penting untuk diingat bahwa minyak sawit, jika dikelola dengan baik dan sesuai dengan standar lingkungan yang ketat, dapat menjadi solusi efektif dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon.

Indonesia, sebagai produsen terbesar minyak sawit di dunia, memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan industri ini dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Sertifikasi RSPO dan ISPO menjadi langkah yang penting dalam menjamin praktik perkebunan sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dalam konteks perubahan iklim dan upaya global untuk mengurangi emisi karbon, minyak sawit memiliki peran yang signifikan. Dengan terus mengembangkan teknologi dan praktik yang ramah lingkungan, serta menjaga keseimbangan antara luasan lahan sawit dan perlindungan hutan yang ada, Indonesia dapat menjaga posisinya sebagai produsen minyak sawit yang bertanggung jawab secara lingkungan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here