Seputarenergi – Badan pengatur hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), berada dalam ancaman pembubaran jika Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) berjalan sesuai rencana. Dalam RUU Migas yang tengah difinalisasi saat ini, terdapat satu lembaga baru yang akan dibentuk, yaitu Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, yang akan menjadi pemegang kuasa hulu migas.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan bahwa pembubaran SKK Migas adalah konsekuensi logis dari revisi UU Migas yang tengah berjalan. SKK Migas sendiri awalnya dibentuk sebagai badan usaha sementara setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) pada tahun 2012. Putusan MK tersebut menganggap BP Migas sebagai representasi negara yang dinilai tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dalam amanat Mahkamah Konstitusi, pemerintah diwajibkan untuk membentuk lembaga baru yang setidaknya memiliki dua fungsi: sebagai regulator dan operator. BUK Migas, yang akan dibentuk sesuai dengan revisi UU Migas, diharapkan akan memenuhi kedua fungsi tersebut.
Tentang nasib pegawai SKK Migas, Mulyanto menyatakan bahwa pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dikembalikan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menjadi lembaga induk SKK Migas. Sedangkan pegawai non-PNS diusulkan untuk diserap oleh BUK Migas baru yang akan terbentuk, selama kompetensinya sesuai.
Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas pembentukan BUK Migas. Dalam draf revisi UU Migas yang diterima, diatur bahwa BUK Migas akan menjadi pemegang Kuasa Usaha Pertambangan dan melakukan pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu melalui Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap.
Revisi UU Migas ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan sumber daya migas di Indonesia, mendukung kesejahteraan rakyat, dan memastikan bahwa perubahan ini berjalan sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi.