Seputarenergi – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), As Natio Lasman, telah mengeluarkan peringatan penting terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Dalam pernyataannya, ia menekankan perlunya hati-hati dalam pembahasan RUU ini, khususnya terkait dengan konsep power wheeling yang dapat berdampak signifikan pada sektor ketenagalistrikan.
Menurut Lasman, ada risiko terkait liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang dapat terjadi jika skema power wheeling diterapkan. Dalam kajian dan pembicaraan di internal DEN, kami melihat adanya risiko liberalisasi pasar ketenagalistrikan dalam skema power wheeling,” katanya.
Power wheeling adalah mekanisme yang memungkinkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik dan menjual listrik langsung kepada pelanggan, tanpa perlu melalui pemerintah. “Nanti, swasta bisa jual listrik tanpa melalui pemerintah. Di sini kepentingan nasional akan hancur karena pemerintah tidak akan mendapatkan apa-apa selain izin-izin pendirian pembangkit,” ungkap Lasman.
Kekhawatiran yang lebih dalam adalah potensi hilangnya kendali pemerintah atas sektor energi dan risiko terkait dengan potensi surplus listrik dalam negeri. Power wheeling merupakan mekanisme yang memungkinkan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik dan menjual listrik ke pelanggan perumahan dan industri.
“Awalnya, power wheeling itu dimaksudkan pula untuk mempercepat realisasi EBET. Tapi kami melihat risiko yang kompleks dari yang kami paparkan tersebut. Ini penting untuk kelangsungan kedaulatan energi di Indonesia,” katanya.
Lasman juga mengingatkan bahwa skema serupa telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai tidak sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itu, ia menekankan agar RUU EBET tidak disahkan dengan dalih apapun.
Selain itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, juga berbicara tentang tantangan dalam transisi energi. Dia menggarisbawahi biaya yang tinggi yang terkait dengan penggunaan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Dalam jangka pendek, menggantikan energi berbasis fosil dengan EBT sangat sulit karena masih minimnya infrastruktur EBT yang ada saat ini.
Siregar juga mencatat bahwa teknologi EBT seringkali memerlukan investasi modal yang tinggi dengan produktivitas rendah. Pengembangan EBT di beberapa negara besar juga telah terdampak oleh perubahan kebijakan, seperti yang terjadi di Inggris, di mana beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara dibuka kembali akibat kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.
Indonesia, kata Siregar, dapat mengambil pelajaran dari pengalaman ini. Transisi ke energi hijau memerlukan penelitian yang kuat, keseimbangan antara proses transisi dan pembiayaan yang bijaksana, serta pemilihan energi terbarukan yang tepat.
Pernyataan Lasman dan Siregar mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam transisi ke energi baru dan terbarukan. Dalam menjalani perubahan ini, pemahaman yang mendalam tentang risiko dan peluangnya adalah kunci untuk merumuskan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan.