Seputarenergi – Prospek emiten pertambangan diprediksi masih dihantui sentimen negatif pada tahun 2024 karena harga sejumlah komoditas tambang, termasuk batubara dan nikel, diproyeksikan tetap lesu. Hal ini mengakibatkan saham-saham berbasis komoditas masih kurang prospektif untuk tahun depan.
Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung Ramadoni, menyatakan bahwa saham-saham berbasis komoditas masih belum prospektif tahun depan karena kelebihan pasokan dan sentimen negatif dari sisi permintaan.
“Terutama negara China sebagai sumber permintaan terbesar dari komoditas yang masih dalam masalah besar, mulai dari sektor properti sampai dengan sektor manufacturing negara tersebut, walaupun pemerintahnya sudah banyak memberikan stimulus,” terang Agung.
Beberapa emiten pertambangan juga mengamini bahwa belum ada sentimen yang dapat meningkatkan harga komoditas tambang tahun depan. Bernardus Irmanto, CFO PT Vale Indonesia Tbk (INCO), mengungkapkan adanya tekanan harga nikel karena kelebihan pasokan, meskipun harga nikel masih berada di kisaran US$ 16.000 per ton hingga US$ 17.000 per ton.
“Harga nikel yang dibutuhkan agar INCO mencapai titik impas atau break even point (BEP) berada di kisaran level US$ 12.000 sampai US$ 13.000. Secara margin masih cukup aman, kami tidak memperkirakan harga nikel akan jatuh ke level US$ 13.000 per ton,” ungkap Irmanto.
Direktur PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), Yulius Kurniawan Gozali, memproyeksikan bahwa outlook batubara tahun depan tidak akan banyak berubah dari tahun ini, namun harga batubara diperkirakan tidak akan berubah banyak dari level saat ini.
“Di level saat ini permintaan cukup kuat sehingga harga stabil di US$ 110 sampai US$ 120 per ton,” kata Yulius. Dia menambahkan bahwa permintaan batubara juga meningkat, terutama dari China dan India, meskipun terjadi kontraksi di Eropa dan wilayah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Farida Thamrin, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Bukit Asam Tbk (PTBA), menyatakan bahwa harga batubara tahun ini tidak sebaik 2021 maupun 2022, tetapi optimistis terhadap permintaan dan harga batubara di sisa tahun ini.
“Dari sisi dividen, Agung menaksir kemungkinan dividen yang dibagikan emiten tambang secara relatif masih akan lebih besar dibanding dengan emiten dari sektor lain di luar emiten bank BUMN. Namun jika dibandingkan secara tahunan, dividen yang diberikan emiten pertambangan di tahun depan kemungkinan tidak akan jauh lebih besar secara nominal,” kata Agung.
Meskipun menghadapi tantangan, beberapa emiten tambang, seperti ITMG, PTBA, ANTM, dan ADRO, masih dianggap sebagai dividen player yang rutin membagikan dividen dengan yield tinggi. Agung cenderung merekomendasikan saham ADRO, ITMG, dan INCO karena porsi ekspor yang besar dan kapitalisasi pasar yang lebih tinggi.