Bioenergi sebagai Solusi Palsu dalam Transisi Energi

0
374

Seputarenergi – Sektor energi di Indonesia memiliki andil sebesar 34,49 persen dalam emisi gas rumah kaca. Untuk mengurangi emisi ini, transisi energi diarahkan melalui pengembangan bioenergi yang memiliki potensi hingga 57 gigawatt. Namun, perlu dicatat bahwa implementasi bioenergi, khususnya melalui co-firing biomassa pelet kayu dan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dinilai sebagai solusi palsu oleh pengamat Trend Asia.

“Jadi menurut pengamatan kami dari apa yang telah terjadi, bioenergi itu hanyalah solusi palsu. Karena klaim-klaim netral karbon itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan menurut perhitungan kami, rencana pemerintah untuk melakukan cofiring di 52 PLTU hingga tahun 2025 justru akan menghasilkan surplus emisi gas rumah kaca sebesar 26,48 juta ton emisi karbon,” kata Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani.

Pengamat tersebut menyoroti klaim pemerintah mengenai pengurangan emisi hingga 1,05 juta ton CO2e melalui co-firing di 43 PLTU. Menurut perhitungan Trend Asia, klaim tersebut keliru, karena pembakaran satu juta ton biomassa dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 1,7 juta ton, sehingga konsep netral karbon menjadi tidak valid.

Amalya menambahkan bahwa co-firing biomassa dapat memperpanjang umur PLTU dan penggunaan batu bara, mengakibatkan operasional PLTU tua yang seharusnya ditutup, seperti PLTU Paiton, PLTU Suralaya, dan PLTU Ombilin. Hal ini menciptakan klaim palsu terkait penyumbangan energi terbarukan dari PLTU yang seharusnya sudah pensiun.

Dampak Negatif dan Kontroversi Co-firing Biomassa

Selain kontroversi terkait emisi, implementasi bioenergi melalui co-firing biomassa juga membawa dampak negatif terhadap biodiversitas, pangan, perekonomian masyarakat, dan budaya. Penggunaan biomassa untuk co-firing berpotensi menyebabkan deforestasi seluas 1 juta hektar, menjadi ancaman serius terhadap ekologi.

Amalya menyoroti dampak sosial, termasuk perampasan lahan, penyingkiran masyarakat, perubahan status masyarakat dari pengelola lahan menjadi buruh, dan hilangnya kebudayaan atau kearifan lokal. Ia juga mencatat tiga kasus dampak buruk dari co-firing di Mentawai dan Indramayu, termasuk deforestasi, perubahan pola produksi masyarakat adat, ancaman terhadap ketahanan pangan, dan dampak budaya lokal.

Kritik terhadap co-firing biomassa semakin menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap keberlanjutan dan dampak dari strategi bioenergi dalam mencapai target transisi energi di Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here