Pengamat Otomotif Sebut BBM Premium Dinilai Sudah Tidak Aman

0
703

Banyak kalangan menilai bensin yang dijual Pertamina dengan brand Premium dianggap sudah tidak lagi memenuhi syarat emisi yang aman karena nilai oktannya masih rendah, yakni research octane number (RON) 88. Karena itu, pemerintah diminta menugaskan PT Pertamina agar memproduksi BBM  lebih berkualitas dengan oktan yang lebih tinggi dari Premium.

Kenapa Premium dianggap tidak aman? Menurut pengamat otomotif yang juga Founder and Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, BBM RON rendah akan merusak lingkungan, menambah polusi, juga buruk bagi mesin kendaraan. “Sepatutnya kita sudah concern dengan masalah emisi gas buang pada oktan dan cetane rendah,” kata Jusri.

Jusri mengatakan, BBM beroktan tinggi pastinya akan memperpanjang umur komponen kendaraan. Kinerja kendaraan lebih baik dan jarak tempuh jadi kian jauh karena pembakaran mesin lebih sempurna. “Sudah saatnya masyarakat menggunakan BBM Ron tinggi karena memiliki banyak kelebihan, mesin awet, tenaga kendaraan terjaga,” ujar Jusri.

Sementara kalangan pecinta lingkungan menilai, penggunaan Premium  sudah tak memenuhi standar baku mutu emisi yang ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tahun 2017. Premium juga dinilai tak sesuai dengan kriteria Protokol Kyoto dalam menurunkan emisi gas buang. Apalagi, Premiun juga mengandung timbal yang dapat menjadi toxic dan berdampak buruk pada kesehatan dan tingkat intelegensia anak-anak. Bahkan, di Amerika Serikat, emisi timbal dituding menjadi biang keladi kenaikan tingkat kriminalitas.

Menurut Mamit Setiawan, dari Energy Watch Indonesia, migrasi ke bahan bakar oktan tinggi sudah menjadi keharusan. “Ini sudah menjadi kewajiban dalam aturan KLHK bahwa kita harus langit biru,” kata Mamit Setiawan.

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, migrasi ke bahan bakar oktan tinggi justru akan menguntungkan masyarakat dan pemerintah yang selama ini harus mensubsidi biaya kesehatan.

Untuk itu, menurut Febby Tumiwa, penggunaan BBM jenis premium perlu dikurangi dengan pembatasn kuota produksi. Selain itu juga bisa dilakukan dengan cara  menyediakan bahan bakar dengan kualitas lebih baik sekelas RON 92 tapi harganya semurah Premium RON 88 atau Petralite RON 90.

Seperti diketahui, bensin Premium merupakan produk bahan bakar dengan tingkat oktan 88 yang lazim diukur dalam satuan research octane number (RON). Di seluruh dunia, negara pemakai RON 88 kini bisa dihitung jari. Sejak Uni Eropa menetapkan standar minimal RON 92 (setara Pertamax), hampir semua negara Eropa kini menggunakan RON 95, melampaui benchmark yang ditetapkan.

Negara-negara Asia dan Afrika umumnya sudah sesuai standar RON 92. Singapura, Vietnam, Taiwan, Cina, Pakistan, Zimbabwe, Mesir — bahkan Srilanka dan Myanmar juga memakai bahan bakar sekelas Pertamax. Srilanka dan Mesir sama-sama meninggalkan RON 90 (sekelas Pertalite), sejak enam tahun lalu, dan naik kelas ke RON 92.

Filipina sedikit lebih maju dengan RON 93. Malaysia dan Thailand malah sudah sejajar dengan negara-negara Eropa, memakai RON 95. Hong Kong? RON 98. Hong Kong pernah mencoba memperkenalkan kembali RON 95, tapi ditolak produsen mobil. Jepang pada umumnya memakai RON 96, meski masih ada kendaraan yang melaju dengan melahap RON 89. Korea Selatan dan India masih bertahan dengan RON 91.

Menurut Menteri ESDM, Indonesia termasuk enam negara yang menggunakan BBM oktan rendah sekelas Premium. Selain Indonesia, ada Bangladesh, Ukraina dan Iran yang menggunakan BBM oktan rendah.

Namun kendaraan di Ukraina kini sudah mengikuti tren Eropa Barat dengan RON 95. Hanya saja, untuk mobil-mobil tua di pedesaan, masih ada yang pakai RON 80. Iran umumnya juga sudah menggunakan RON 95, tapi bensin sekelas Premium masih tetap beredar. Belakangan, popularitasnya makin merosot setelah Teheran memperkenalkan produk “antara” dengan tingkat oktan RON 91. Sementara Bangladesh resminya memakai RON 87, tapi di sejumlah pompa bensin masih banyak ditemukan jenis “oplosan” dengan tingkat oktan RON 80.

Di Indonesia, konsumsi Premium sebenarnya juga sudah jauh melorot. Data dari Badan Pengatur Hulu (BPH) Migas menunjukkan bahwa konsumsi Premium turun dari 12,23 juta kiloliter (tahun 2015) menjadi hanya 9,27 kiloliter (2018). Konsumsi premium di 10 pasar terbesar Indonesia, terus beringsut turun. Sumatera Utara, misalnya, dari 1,62 juta kiloliter (2015) melorot sampai hampir seperempatnya, menjadi hanya 429 ribu kiloliter di 2018.

Dengan melihat kuota BBM subsidi yang dianggarkan pemerintah pada 2020, bisa diperkirakan bahwa konsumsi Premium kini hanya sekitar 11 – 12 persen dari total konsumsi BBM nasional — tidak lagi dalam porsi yang dominan seperti dulu. Penggunaan Premium mulai merosot jauh sejak Presiden Jokowi memproklamirkan premium sebagai bahan bakar non-subsidi. Waktu itu, tak sampai sebulan setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi langsung menaikkan harga premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter, pada pertengahan November 2014.

Dengan keputusan tersebut, sebutan Premium sebagai “bensin murah”, terhapus sudah. Premium menjadi bensin mahal, sekelas Pertamax. Sayang, kebijakan ketat ini pelan-pelan terus melonggar. Belakangan, Premium termasuk jenis bahan bakar penugasan khusus yang artinya sama dengan disubsidi. Setahun sebelum Pemilu Presiden 2019, Premium subsidi kembali beredar.

Dengan konsumsi yang tidak lagi dominan, penghapusan Premium sebenarnya tinggal menunggu keputusan politik. Sebab, kini PT Pertamina sudah mampu memproduksi BBM dengan nilai RON 100 semenjak Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) dioperasikan di bawah Pertamina Refinery Unit (RU) IV, Kilang Cilacap.

Mamit Setiawan dari Energy Watch menilai, infrastuktur Pertamina sudah siap memasarkan hanya BBM oktan yang lebih tinggi dari Premium. “Secara infrastruktur Pertamina siap, tinggal bagaimana secara politisnya,” katanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here