Seputarenergi.com Untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, seluruh pihak yang terlibat harus melakukan sinergi untuk pencapaiannya. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, komunitas, serta masyarakat umum berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Semuanya menuju tujuan yang sama, yaitu melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil untuk beralih menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
“Kami terus bekerja untuk mencari cara yang terbaik untuk solusi konkret yaitu penambahan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). EBT (Energi Baru Terbarukan) khususnya PLTS harus bertambah secara kapasitas,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana saat acara peluncuran Data Platform dan Seminar Studi Hosting Capacity di Jakarta, Kamis (16/6).
Menurut Dadan, di dunia, kapasitas PLT-EBT (Pembangkit Listrik Tenaga EBT) yang berasal dari energi surya adalah 845 GW, ekivalen dengan 28 persen dari kapasitas pembangkit lainnya. ”Sehingga, jika berbicara berapa penetrasi EBT yang mungkin dilakukan, jawabannnya adalah 28 persen,” tambah Dadan Kusdiana.
Dalam ajang tersebut, Dadan turut meresmikan peluncuran platform data iradiasi matahari yang dikembangkan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan PT Synkrona Enjiniring Nusantara (Synkrona). Adanya platform ini sangat penting sebagai database energi nasional serta sumber data primer bagi peneliti dan universitas.
Dalam kesempatan yang sama, AESI sangat mendukung upaya Kementerian ESDM untuk mempercepat bauran energi terbarukan melalui pemasangan PLTS. Dalam hal ini, AESI menyayangkan adanya kebijakan internal PLN yang membatasi kapasitas terpasang PLTS atap 10-15 persen dari daya terpasang di pelanggan. Menurut kajian AESI dan Synkrona, tidak ada masalah teknis pada sistem PLN yang ditimbulkan jika pembatasan di tingkat pelanggan tidak dilakukan.
Hal ini dibuktikan oleh Kajian Hosting Capacity yang dilakukan AESI dan Synkrona. Kajian mengukur potensi teknis energi surya di Jawa-Madura-Bali dan bagaimana jenis energi ini dapat berperan di dalam pasokan listrik secara nyata. Kajian ini mencakup pengukuran iradiasi (intensitas pencahayaan) matahari secara real time di 54 titik Jawa-Madura-Bali (Jamali) sejak tahun 2020.
Kegiatan pengukuran ini baru dilakukan pertama kali di Indonesia dan diharapkan hasil pengukuran ini dapat menjadi database energi nasional. Penempatan 54 alat ukur juga difasilitasi oleh PT PLN Persero yang menyediakan lokasi Gardu Induk sebagai lokasi penempatan alat. Oleh karena itu, data ini juga bermanfaat bagi PLN dalam memperkuat sistem ketenagalistrikan di Jawa-Madura-Bali.
“Tujuan dilakukannya penempatan 54 alat ukur ini adalah karena minimnya data pengukuran radiasi matahari secara langsung di Indonesia. Selama ini kita menggunakan software yang datanya berasal dari interpolasi stasiun cuaca terdekat sehingga tingkat ketelitian dan akurasi lebih rendah dari pengukuran langsung. Kami ingin melihat profil iradiasi matahari di Jawa-Madura-Bali dan intermittency-nya. Hasil pengukuran juga bisa diakses publik melalui sebuah platform dan dimanfaatkan untuk Studi Hosting Capacity”, ungkap Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI.
Platform berisi data hasil pengukuran yang dapat diakses publik pada www.indonesiasolarmap.com secara gratis dan dapat dimanfaatkan oleh pengembang, universitas, maupun pegiat tenaga surya lainnya untuk keperluan bisnis maupun riset.
Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina AESI yang juga Perekayasa Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional mengatakan bahwa riset yang dilakukan terhadap intermitensi daya surya menunjukkan bahwa permasalahan intermitensi ini teredam dengan pemasangan PLTS Atap secara tersebar di seluruh sistem Jamali.
Data dan analisa menunjukkan bahwa dampak redaman tersebut menghasilkan kemampuan sistem Jamali untuk menerima tidak kurang dari 6.500 MWp PLTS Atap. “Dengan analisis, hasil ini sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak sesegera mungkin mempercepat pertumbuhan PLTS rooftop,” ujar Andhika.
Fabby Tumiwa menambahkan bahwa transisi energi dan dekarbonisasi bukan lagi menjadi pilihan, melainkan strategi dan prioritas dalam kebijakan energi nasional. PLTS merupakan teknologi yang dapat menjadi tulang punggung sistem energi karena potensinya yang tersebar di seluruh Indonesia, dapat dikembangkan dalam berbagai skala, dan cepat dibangun.
Meski demikian, saat ini pengembangan PLTS skala besar di Indonesia oleh PLN masih dianggap berpotensi mengganggu sistem kelistrikan, karena variability produksi energinya. “PLTS di Jawa Madura Bali yang bisa terpasang mencapai 9.600 MW,” ujar Dr Nanang Hariyanto, Dosen Kepala Laboraturium Power Sistem dan Dinamik, Institut Teknologi Bandung.
Nanang menegaskan bahwa untuk nilai batas penetrasi 10-15 persen di pelanggan, sebetulnya hanya berlaku jika semua pelanggan memasang PLTS atap. Untuk itu, Nanang menyarankan PT PLN agar pembatasan 10-15 persen tidak perlu diberlakukan di level pelanggan.
Mengingat tidaklah mungkin 100 persen pelanggan memasang PLTS atap, maka kebijakan pembatasan PLTS atap tiap pelanggan 10-15 persen dari kapasitas terpasang yang diterapkan PLN saat ini tidak beralasan. AESI berharap batasan kapasitas PLTS atap yang dapat dipasang pelanggan sesuai Permen ESDM no 26/2021 sebesar 100 persen daya terpasang. Pada saat kapasitas total PLTS mencapai angka mendekati 15 persen dari daya terpasang total, maka kebijakan pembatasan baru boleh diberlakukan.