Perkembangan pesat energi surya telah menghasilkan harga komponen penyusunnya yang semakin kompetitif, menarik minat investor. Negara-negara di Asia Tenggara dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengembangkan sektor energi terbarukan masing-masing daripada bersaing secara langsung. Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan bahwa kapasitas energi terbarukan akan meningkat sebesar 440 gigawatt (GW) pada tahun 2023 dan 550 GW pada tahun 2024. Investasi total yang terkait dengan energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik, kendaraan, penyimpanan energi, dan jaringan listrik, diperkirakan mencapai 1,7 triliun dolar AS atau sekitar Rp 25.281 triliun. Dari jumlah tersebut, investasi energi surya diperkirakan mencapai 382 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.681 triliun.
Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, menyatakan bahwa transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, terutama energi surya, terus berlanjut. Hal ini telah mendorong penurunan harga komponen panel surya dan membuatnya semakin kompetitif dan terjangkau. Beberapa produsen komponen panel surya, seperti Longi dari China, telah menurunkan harga produk mereka sebesar 30 persen, sementara TCL Tsonghuan memotong harga sebesar 16-24 persen. Penurunan harga komponen ini juga disertai dengan penurunan harga silikon polikristalin (polisilikon) pada kuartal pertama tahun 2023, yang menunjukkan kompetitivitas energi terbarukan dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, penurunan harga tersebut juga menciptakan peluang investasi yang lebih besar.
Fabby menyatakan bahwa perkembangan energi surya perlu dihadapi dengan pendekatan kolaboratif di Asia Tenggara, terutama dalam hal rantai pasok, industri, dan sistem fotovoltaik (PV). Permintaan energi surya yang meningkat harus diimbangi dengan kesiapan teknologi untuk mempercepat transisi energi. Menurutnya, pasar energi surya di Asia Tenggara cukup besar dan negara-negara di wilayah tersebut dapat saling berinvestasi dan bekerja sama dalam membangun industri rantai pasok energi surya.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki potensi untuk menyediakan silikon kelas metalurgi untuk produksi ingot, wafer, sel surya, dan modul PV. Industri kaca di Indonesia juga dapat menyuplai tempered besi rendah (low tempered iron) untuk modul surya di Asia Tenggara.
Selain itu, Indonesia dan Singapura telah sepakat untuk bekerja sama dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Batam, Kepulauan Riau.
Kelebihan daya listrik yang dihasilkan dapat dialirkan ke Singapura melalui jaringan listrik. Dengan demikian, ketika Indonesia mengekspor kelebihan daya listriknya ke Singapura, jaringan listrik regional juga dapat dikembangkan untuk menghubungkan negara-negara di Asia Tenggara. Rencananya, jaringan tersebut akan menghubungkan Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Singapura, serta Filipina melalui kabel bawah laut.
Ratih Purbasari Kania, Direktur Perencanaan Sumber Daya Alam Kementerian Investasi, menjelaskan bahwa dunia investasi saat ini sedang beralih ke sektor energi terbarukan. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi pada tahun 2060. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia perlu membangun pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas total 708 GW. Dalam rangka mencapai tujuan ini, diperlukan dana sebesar 1,1 triliun dolar AS (sekitar Rp 16.351 triliun) atau sekitar 28,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 423,67 triliun) per tahun hingga tahun 2060.
Dalam upaya mencapai target energi terbarukan, Indonesia dan Singapura telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) pada tanggal 16 Maret 2023. MoU ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan industri dan manufaktur energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan sistem penyimpanan energi baterai (battery energy storage systems/BESS) yang dibangun juga akan memenuhi kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan mengekspor listrik ke Singapura.